DRI IPB

Tiga Dosen IPB University Bahas Pencegahan Perkawinan Anak dalam Perspektif Milenial

Berita / Warta LPPM

Tiga Dosen IPB University Bahas Pencegahan Perkawinan Anak dalam Perspektif Milenial

Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University menyelenggarakan webinar bertajuk Pencegahan Perkawinan Anak dalam Perspektif Milenial yang digelar secara darint, (6/3). PKGA mengundang tiga dosen IPB University dari Fakultas Ekologi Manusia (Fema), yakni Prof Rizal Damanik, Dr Tin Herawati dan Dr Lala Kolopaking sebagai narasumber dalam webinar tersebut.

Prof Rizal Damanik mengawali pemaparan dengan data perkawinan anak Indonesia yang mana Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi dengan prevalensi 19,43 persen dan Jawa Barat sebagai provinsi dengan angka absolut 273.300 pernikahan anak tertinggi di Indonesia.

“Penyebab praktik perkawinan anak di antaranya adalah permasalahan ekonomi atau kemiskinan, nilai budaya, regulasi pemerintah, globalisasi yang berdampak pada perilaku remaja, serta ketidaksetaraan gender,” ujar Prof Rizal.

Dosen IPB University dari Departemen Gizi Masyarakat tersebut kemudian memaparkan lima dampak serius perkawinan anak. Di antaranya adalah sangat berpotensi melahirkan anak stunting, persalinan macet karena panggul sempit, pendarahan akibat robeknya mulut rahim, tingginya risiko kanker mulut rahim, serta osteoporosis saat menopause.

“Pada usia kurang dari 18 tahun, organ reproduksi pada anak perempuan masih dalam proses perkembangan sehingga rawan terjadi infeksi,” katanya.

berita-pkgabertajuk

Sementara itu, Dr Tin Herawati, dosen dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) menyampaikan bahwa pernikahan membutuhkan adanya kesiapan. Kesiapan menikah tidak hanya dari segi fisik dan usia namun juga dari sisi finansial, mental, emosi, sosial, moral, interpersonal, serta kepemilikan keterampilan hidup.

“Jika poin-poin ini dipersiapkan dengan baik, maka pasangan akan sukses melewati masa-masa krisis pernikahan. Sebaliknya, jika tidak siap maka akan sangat mungkin terjadi banyak konflik hingga perceraian,” papar Dr Tin Herawati.

Berdasarkan penelitian terkait kesiapan menikah yang dilaksanakan di Departemen IKK, rendahnya kesiapan menikah akan berpengaruh terhadap rendahnya kualitas pelaksanaan fungsi dan tugas keluarga sehingga berakhir dengan kualitas perkawinan yang rendah pula.

Di sisi lain Dr Lala Kolopaking memaparkan data penetrasi internet pada masyarakat Indonesia, terutama penduduk usia produktif (16-64 tahun), mencapai 175 juta dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 272 juta jiwa. Media sosial seperti whatsapp, facebook, dan Instagram sudah menjadi bagian yang sangat erat dalam kehidupan masyarakat muda Indonesia. Teknologi informasi dan komunikasi yang sangat berkembang tersebut membuat kaum muda saling terhubung tanpa batas ruang dan waktu (borderless).

“Di satu sisi, ini memudahkan adanya perselingkuhan, namun di sisi lain penyebaran informasi edukatif juga sangat dipermudah, maka potensi ini yang harus kita ambil,” ujar Dr Lala Kolopaking.

Lebih lanjut ia mengajak dua mahasiswanya dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan masyarakat untuk melakukan survei penggunaan media sosial di kalangan muda milenial. Dari survei tersebut ia menyimpulkan bahwa publik figur di media sosial memiliki peran sentral dalam penyebaran informasi positif yang masif.

Selain karena jangkauannya yang luas dan cepat, para publik figur tersebut lebih dipercaya oleh para pengikutnya (follower) karena dianggap lebih mengerti kehidupan kaum muda. Oleh karena itu menggandeng para publik figur media sosial memiliki kekuatan daya ungkit tinggi dalam mempengaruhi pola piker muda-mudi Indonesia. (SWP/Zul)