DRI IPB

Pakar IPB University Tanggapi Perpanjangan Moratorium Sawit dan Dampaknya pada Lahan dan Petani

Berita / Warta LPPM

Pakar IPB University Tanggapi Perpanjangan Moratorium Sawit dan Dampaknya pada Lahan dan Petani

Moratorium sawit sebelumnya dinilai mampu menyelesaikan konflik dan memperbaiki tata kelola sawit di Indonesia. Dr Bayu Eka Yulian, Sekretaris Pusat Studi Agraria IPB University menanggapi bahwa perpanjangan moratorium sawit di Indonesia dinilai masih penting. Terutama untuk mengerem ekspansi negara utara ke selatan pada masa puncak ekpansi di tahun 2030.

“Ekspansi lahan yang didasari oleh kebutuhan pangan dan energi berdampak pada petani kecil. Petani yang tidak memiliki lahan terpaksa menjual tenaga sebagai buruh. Sebagai akibat menjadi korban dari big land deals,” ujarnya dalam Diskusi Daring Ngaso (Ngobrol Asyik Online) “Proyeksi Nasib Hutan dan Lahan Indonesia Jika Inpres Moratorium Sawit Tidak Diperpanjang” yang diselenggarakan oleh Forest Watch Indonesia (15/09).

Menurutnya, lebih dari 50 persen ekpansi lahan sawit dilakukan perusahaan swasta. Praktik ekspansi senyap masih dilakukan diam-diam di belakang panggung negara. Bahkan terkadang menunggangi adat dan terfragmentasi. Walaupun masih dalam skala kecil, bila diakumulasikan jumlahnya cukup besar.

Tak hanya itu, menurutnya metode tebang-bakar juga berpotensi menyebabkan deforestasi di dalam kawasan hutan.
Berdasarkan analisanya, terdapat big man di balik aktivitas tersebut dan memiliki sistem pasar tersendiri. Oleh karena itu, ia menganggap perpanjangan moratorium sawit masih penting.  UU Cipta Kerja menjadi gambaran bagaimana pemerintah membingkai kelembagaan tata kelola kepala sawit berkelanjutan.

berita-pakar-ipb-university-tanggapi-perpanjangan-moratorium-sawit-dan-dampaknya-pada-lahan-dan-petani-news

 “Land grabbing, konflik agrarian, vulnerability masyarakat, ketimpangan, isu-isu hilangnya keanekaragaman hayati, itu merupakan isu-isu di hilir. Ada kapital yang kerja di hulu. Jadi kita juga nanti tidak hanya menyelesaikan persoalan-persoalan kebakaran api yang ada di hilir, tapi sumber asapnya yang ada di hulu,” tuturnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, moratorium jelas masih penting terutama untuk mengerem land grabber. Namun perlu adanya perbaikan terkait validasi data dan sumberdaya manusia. Karena masih menyisakan permasalahan integrasi koordinasi, pendampingan, penguatan sampai di level tapak.

“Jadi kita coba melihat kembali bagaimana moratorium sawit ini. Kalau mau kita perpanjang, kita bisa mengisi moratorium ini dengan apa. Apakah interupsi presiden kepada mereka-mereka itu dilaksanakan dengan baik,” tuturnya.

Prof Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar IPB University ikut menambahkan bahwa moratorium sawit saat ini belum ada evaluasi secara terbuka. Perlu adanya transparansi terkait performa sawit di lapangan.

 “Kalau toh bila kita punya pandangan bahwa diperpanjang, bahkan selain evaluasi perijinan nasional itu (seharusnya) ditunjukkan ke publik seperti apa. Kedua, sebetulnya harus ada peran lembaga keuangan dan sebagainya,” ujarnya.

Menurut dosen di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University ini, sesuai Perpres No 13 tahun 2018, perkembangan beneficial ownership harus ditunjukkan ke publik. Ini demi mempertanggungjawabkan aliran dana dari pihak yang mendapatkan keuntungan dari bisnis sawit tersebut.

Ia menyarankan perpanjangan moratorium harus lebih advance. Peran masyarakat sipil juga dibutuhkan untuk memberi informasi valid tentang performa sawit di lapangan. (MW/Zul)