DRI IPB

Dr Ernan Rustiadi: Longsor di Gunung Mas Harus Menjadi Pelajaran Bersama

Berita / Warta LPPM

Dr Ernan Rustiadi: Longsor di Gunung Mas Harus Menjadi Pelajaran Bersama

Kepala Lembaga Penelitian Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University, Dr Ernan Rustadi menilai, kawasan puncak Bogor menjadi barometer pelanggaran tata ruang. Kawasan ini juga  menjadi sumber bencana yang mengakibatkan longsor dan banjir di wiliayah hilir termasuk wilayah Gunung Mas.

Menurutnya, untuk mengantisipasi terjadinya bencana alam tersebut, semua elemen masyarakat harus terlibat. Salah satunya bertujuan supaya masyarakat mau memelihara lingkungan dengan baik dan bertanggung jawab.

“Bencana alam yang terakhir terjadi di Gunung Mas itu tidak mencerminkan kondisi puncak keseluruhan, karena di puncak itu terbagi atas area-area dengan karesteritik yang macam-macam,” ujar Dr Ernan.

Lebih lanjut ia menerangkan, bencana longsor di Gunung Mas terjadi di tempat yang memiliki tutupan lahannya hutan. “Di situ bisa dikatakan tidak ada pelanggaran tata ruang dan tidak ada kesalahaan pemanfaatan ruang karena itu melupakan area kawah tua atau kawah purba,” tambahnya.

berita-drernanrustiadi

Kawah purba tersebut, katanya, tebingnya terdiri dari bahan bahan induk yang larvanya mudah runtuh sehingga terjadi longsor. Di sisi lain, semua pihak tidak mengantisipasi kemungkinan bencana itu terjadi, bahkan kita melakukan pelanggaran dengan pemanfaatan yang memiliki kerentanan lingkungan yang bisa merusak alam.

Dr Ernan menambahkan, tetapi di tempat lain, bisa dikatakan banyak juga pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Tidak hanya itu, pelanggaran tata ruang juga memperparah kondisi yang menyebabkan sedemikian rupa, sehingga terjadi terlampauinya daya dukung atau kerentanan yang meningkat dan menimbulkan bencana alam. Sedangkan dengan tingkat curah hujan ekstrim yang sama kalau di masa dulu, dengan daya dukung  yang kuat  dan perencanaan tata ruang yang baik tidak menimbulkan bencana alam yang merugikan masyarakat.

“Untuk itu semua elemen  harus menata ulang kembali secara keseluruhan di kawasan puncak, karena kawasan puncak membutuhkan rencana rinci dan sistem pengendalian yang juga ketat. Penata ruang umumnya berhenti hanya sampai perencanaan saja,  akan tetapi ketika perencanaan sudah jadi dan matang pengendaliannya tidak jalan,” tuturnya.

Lebih lanjut dikatakannya, secara umum betul bahwa pohon-pohon yang ada di kawasan puncak itu dapat melindungi dari longsor, akan tetapi di beberapa konteks justru malah kebalikannya, pohon keras bisa dapat memberatkan, sehingga kita harus paham betul karakteristik pohon tersebut. Untuk itu pohon keras dan berat tidak ditanami agar tidak menimbulkan bencana  dan membayakan masyarakat sekitar.

“Untuk itu penyelenggaraan minotoring harus terus menerus dilakukan dengan rutin, sehingga bencana longsor itu sudah bisa diperkirakan dengan cermat dan tempat-tempat yang potensial longsor sudah ada kajian kajiannya.  Memang ada hal yang kontradiktif terkait kawasan puncak, di satu sisi kawasan puncak itu memiliki fungsi resapan air yang bagus, mempunyai fungsi lindung, fungsi konservasi yang harus dijaga. Tetapi di sisi lain kawasan puncak adalah kawasan seksi untuk wisata alam yang menjadi sumber pendapatan daerah. Untuk itu harus ada keseimbangan, harus menjaga lingkungan dan ekosistem serta harus ada batas jangan sampai kita mengesploitasi melampoi yang semestinya,” imbuhnya.

Dr Ernan menegaskan, sebetulnya sudah berulang diiingatkan tentang potensi dan kejadian bencana seperti ini, cuma kali ini gaungnya cukup keras karena berlokasi di tempat yang aktivitasnya cukup tinggi dengan pusat wisata yang dikeloloa oleh Gunung Mas.

“Mari kita lakukan pembenahan di lingkungan puncak dengan baik. Kejadian di Gunang Mas itu merupakan alarm atau pengingat agar diwaspadai. Jika tidak dibenahi dengan baik dari sekarang, sewaktu-waktu bisa berakibat bencana seperti sekarang kembali terulang dan yang akan menjadi korban pertama adalah masyarakat setempat. (awl/RA)

Kepala Lembaga Penelitian Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University, Dr Ernan Rustadi menilai, kawasan puncak Bogor menjadi barometer pelanggaran tata ruang. Kawasan ini juga  menjadi sumber bencana yang mengakibatkan longsor dan banjir di wiliayah hilir termasuk wilayah Gunung Mas.

Menurutnya, untuk mengantisipasi terjadinya bencana alam tersebut, semua elemen masyarakat harus terlibat. Salah satunya bertujuan supaya masyarakat mau memelihara lingkungan dengan baik dan bertanggung jawab.

“Bencana alam yang terakhir terjadi di Gunung Mas itu tidak mencerminkan kondisi puncak keseluruhan, karena di puncak itu terbagi atas area-area dengan karesteritik yang macam-macam,” ujar Dr Ernan.

Lebih lanjut ia menerangkan, bencana longsor di Gunung Mas terjadi di tempat yang memiliki tutupan lahannya hutan. “Di situ bisa dikatakan tidak ada pelanggaran tata ruang dan tidak ada kesalahaan pemanfaatan ruang karena itu melupakan area kawah tua atau kawah purba,” tambahnya.

Kawah purba tersebut, katanya, tebingnya terdiri dari bahan bahan induk yang larvanya mudah runtuh sehingga terjadi longsor. Di sisi lain, semua pihak tidak mengantisipasi kemungkinan bencana itu terjadi, bahkan kita melakukan pelanggaran dengan pemanfaatan yang memiliki kerentanan lingkungan yang bisa merusak alam.

Dr Ernan menambahkan, tetapi di tempat lain, bisa dikatakan banyak juga pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Tidak hanya itu, pelanggaran tata ruang juga memperparah kondisi yang menyebabkan sedemikian rupa, sehingga terjadi terlampauinya daya dukung atau kerentanan yang meningkat dan menimbulkan bencana alam. Sedangkan dengan tingkat curah hujan ekstrim yang sama kalau di masa dulu, dengan daya dukung  yang kuat  dan perencanaan tata ruang yang baik tidak menimbulkan bencana alam yang merugikan masyarakat.

“Untuk itu semua elemen  harus menata ulang kembali secara keseluruhan di kawasan puncak, karena kawasan puncak membutuhkan rencana rinci dan sistem pengendalian yang juga ketat. Penata ruang umumnya berhenti hanya sampai perencanaan saja,  akan tetapi ketika perencanaan sudah jadi dan matang pengendaliannya tidak jalan,” tuturnya.

Lebih lanjut dikatakannya, secara umum betul bahwa pohon-pohon yang ada di kawasan puncak itu dapat melindungi dari longsor, akan tetapi di beberapa konteks justru malah kebalikannya, pohon keras bisa dapat memberatkan, sehingga kita harus paham betul karakteristik pohon tersebut. Untuk itu pohon keras dan berat tidak ditanami agar tidak menimbulkan bencana  dan membayakan masyarakat sekitar.

“Untuk itu penyelenggaraan minotoring harus terus menerus dilakukan dengan rutin, sehingga bencana longsor itu sudah bisa diperkirakan dengan cermat dan tempat-tempat yang potensial longsor sudah ada kajian kajiannya.  Memang ada hal yang kontradiktif terkait kawasan puncak, di satu sisi kawasan puncak itu memiliki fungsi resapan air yang bagus, mempunyai fungsi lindung, fungsi konservasi yang harus dijaga. Tetapi di sisi lain kawasan puncak adalah kawasan seksi untuk wisata alam yang menjadi sumber pendapatan daerah. Untuk itu harus ada keseimbangan, harus menjaga lingkungan dan ekosistem serta harus ada batas jangan sampai kita mengesploitasi melampoi yang semestinya,” imbuhnya.

Dr Ernan menegaskan, sebetulnya sudah berulang diiingatkan tentang potensi dan kejadian bencana seperti ini, cuma kali ini gaungnya cukup keras karena berlokasi di tempat yang aktivitasnya cukup tinggi dengan pusat wisata yang dikeloloa oleh Gunung Mas.

“Mari kita lakukan pembenahan di lingkungan puncak dengan baik. Kejadian di Gunang Mas itu merupakan alarm atau pengingat agar diwaspadai. Jika tidak dibenahi dengan baik dari sekarang, sewaktu-waktu bisa berakibat bencana seperti sekarang kembali terulang dan yang akan menjadi korban pertama adalah masyarakat setempat. (awl/RA)