Tungku Sekam Rancangan IPB

Tungku Sekam Rancangan IPB
Tungku Sekam Rancangan IPB
Pepatah ”api dalam sekam” benar adanya. Setidaknya, bagi tungku sekam hasil kreasi para peneliti di Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor. Pengecekan suhu tungku dalam kondisi puncak di atas 500 derajat celsius, sedangkan suhu bara pada besi isolatornya 300-an derajat celsius.
Sampai alat tembak pengecek suhu kapasitas 500 derajat celsius kami overload (melebihi kapasitas),” kata peneliti dan pengembang tungku sekam, yang juga Ketua Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor (IPB), Irzaman di Bogor, Jawa Barat, Kamis (19/11). Sejak diteliti 20 tahun lalu tungku sekam IPB mulai populer dua tahun terakhir.
Alasan utamanya, krisis energi yang melambungkan harga minyak tanah dan gas hingga sulit dijangkau masyarakat. Oleh karena itu, tidak ekonomis apabila dimanfaatkan dalam industri skala rumah tangga.
Secara sederhana, tungku sekam IPB bekerja memanfaatkan sekam padi kering. Untuk menghasilkan panas maksimal, sekam padi dibakar di dalam alat khusus berbentuk piramida terbalik dengan beberapa lubang di dindingnya.
Sekam-sekam itu ditaburkan di sekeliling piramida dengan tabung khusus di bagian tengahnya. Bagian ujung piramida dipotong dan dibuatkan penampang khusus sehingga tersisa rongga, yang dimanfaatkan untuk mengambil atau membuang abu sisa pembakaran.
Penampang berbentuk piramida disangga tungku dengan satu lubang khusus untuk menjebak udara yang memicu panas menjadi maksimal. Tungku itu bisa berbahan tanah liat, kaleng cat (tungku sedang), hingga potongan drum (tungku besar). ”Yang penting, menyisakan lubang,” kata Ahmad Yani, teknisi bengkel tungku sekam IPB.
Sangat sederhana
Secara kasatmata, tungku tersebut sangat sederhana. Adapun hasilnya sangat memuaskan dari ukuran panas yang dihasilkan.
Hasil uji coba menunjukkan, 6 kilogram sekam padi mendidihkan 6 liter air dalam waktu 23 menit. Adapun untuk memasak 90 liter air hingga menyisakan 45 liter dibutuhkan tujuh karung besar (sekitar 7 kilogram sekam per karungnya) dalam waktu tujuh jam. Praktik terakhir itu dilakukan atas permintaan salah satu perusahaan air minum kemasan di bengkel tungku sekam IPB.
Secara ekonomis, tungku sekam memberi bukti. Berapa liter minyak tanah atau gas dibutuhkan untuk memanaskan air selama tujuh jam? Kalikan dengan harga minyak tanah sekitar Rp 8.000 per kilogram.
Yang paling penting, sekam padi relatif murah (Rp 500 per kilogram). Bahkan, warga desa bisa mendapatkan secara gratis sehingga memicu kemandirian.
Sejauh ini tim tungku sekam IPB telah memproduksi 1.000 lebih tungku. Pada musim pilkada lalu ada pesanan 20.000 tungku dari salah satu provinsi di Sumatera. ”Kami tidak sanggup dengan alasan teknis,” kata Irzaman, yang belum lama ini diundang Tokyo University of Agriculture and Technology atas penelitiannya itu.
Pengusaha di Kabupaten Tangerang telah meminta pelatihan untuk usaha rumah tangga kerupuk. Di Bogor dan Sukabumi, permintaan datang dari kalangan pengusaha tahu dan kerupuk.
Dari sudut harga, berkisar Rp 80.000 hingga Rp 1,7 juta per unit. Adapun salah satu kekurangannya adalah penggantian piramida terbaliknya yang terbilang pendek (sekitar lima bulan sekali dengan pemakaian setiap hari). Ini karena panas yang tinggi.
Pengembangan lanjut
Saat ini tim sedang mengembangkan pemanfaatan tungku sekam. Di antaranya, untuk sterilisasi media jamur tiram dengan cara pengukusan di dalam drum yang dikerjakan bagian fisika terapan.
Hasilnya, untuk mendidihkan 28,26 liter air dan membuat suhu media mencapai 95 derajat celsius, tungku sekam lebih efisien dari sudut waktu dan biaya dibandingkan dengan penggunaan gas (LPG). Uji ilmiah menunjukkan, efisiensi tungku sekam lebih besar (23,9 persen) dibandingkan dengan LPG (19,43 persen).
Penelitian lain adalah mengembangkan alat penangkap karbon pembakaran sekam lalu dicairkan (karbon cair). Hasilnya dapat meningkatkan proses pembuatan bahan bakar campuran air dan minyak (kapitasi).
”Tidak lama lagi akan kami publikasikan,” kata Irzaman.
Bukan tidak mungkin pengembangan lebih maju dapat dihasilkan dari sekam padi. Setidaknya, saat ini ada alternatif menyiasati krisis energi yang aplikatif dan relatif murah. Masyarakat pun bisa mandiri energi untuk memasak.
Itulah tugas utama kaum intelektual, menawarkan solusi nyata atas persoalan zaman. Krisis yang terlihat besar dapat teratasi dengan sesuatu yang sederhana.
Sumber : Gesit Ariyanto, http://cetak.kompas.com