Tim Peneliti IPB University Kembangkan Infas IPB-01: Integrated Farming Berbasis Sagu untuk Ketahanan Pangan
Tim Peneliti IPB University Kembangkan Infas IPB-01: Integrated Farming Berbasis Sagu untuk Ketahanan Pangan
Tim Peneliti IPB University yang diketuai Prof Hasim Bintoro dan beranggotakan Prof M Zairin Jr (alm), Prof Ervizal AM Zuhud, Prof Tajuddin Bantacut dan Dr Afton Atabani mengembangkan Infas IPB-01. Yaitu metode pendekatan pengembangan pertanian terpadu berbasis sagu dari hulu sampai hilir sebagai alternatif penyedia sumber pangan berkelanjutan. Pendekatan ini menawarkan sebuah pendekatan pengembangan sistem pertanian yang terdiri atas sistem eksplorasi, eksploitasi, budidaya, pemanfaatan, pengolahan, diversifikasi pangan, pemasaran dan pengembangan masyarakat dalam rangka membangun kedaulatan pangan nasional.
Dalam rangka pengembangan Infas IPB-01, IPB University telah melakukan penelitian tentang keanekaragaman jenis-jenis sagu yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Potensi produksi sagu yang tertinggi yang telah ditemukan yaitu Sagu Heim di Kabupaten Mappi memiliki potensi produksi mencapai 1.197 kilogram/pohon atau 1,2 ton/pohon. Kemudian terdapat pula jenis Sagu Yemoo di Kabupaten Mappi yang mencapai 624 kilogram/pohon.
“Terdapat tiga jenis sagu unggul di Kota Timika, Provinsi Papua. Yaitu Omiya yang mencapai 402 kilogram/pohon, Oko 384 kilogram/pohon dan Monepikiri dengan produksi 326 kilogram /pohon. Sagu jenis Fanomik memiliki produksi 372 kilogram/pohon di Sorong Selatan dan jenis Wasenandi 361 kilogram/pohon di Sorong,” ujar Prof Bintoro saat berlangsung Launching Hasil Penelitian Unggulan yang digelar Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University pada 30/8 di Science and Techno Park (STP), Kampus Taman Kencana, Bogor.
Selain itu, lanjutnya, terdapat dua jenis sagu unggul di Kabupaten Mamuju, yaitu jenis Kasimpo dengan produksi sebesar 391 kilogram/pohon dan jenis Kapas yang dapat mencapai 717 kilogram/pohon. Ada juga jenis Beremban di Meranti Riau 318 kilogram/pohon. Selanjutnya terdapat 3 jenis sagu unggul di Siberut, yaitu Ukra yang mencapai 585 kilogram/pohon, Betaet 383 kilogram/pohon dan jenis Sirilanggai dengan produksi sebesar 323 kilogram/pohon.
Menurutnya, sagu cenderung tumbuh di kawasan yang lembab, dekat dengan aliran sungai. Indonesia dengan iklim tropika basah menjadi tempat yang cocok sebagai habitat tumbuh sagu. Berdasarkan hasil analisis luas dan jenis, Indonesia menjadi center of origin dan center of diversity dari tumbuhan sagu. Berdasarkan analisis luas tutupan lahan, diketahui luas tumbuhan sagu di dunia yaitu sebesar 6,5 juta hektar (ha), sedangkan luas sagu di Indonesia sebesar 5,5 juta ha. Artinya, luas sagu di Indonesia setara dengan 85 persen luas sagu dunia. Rata-rata produktivitas sagu berkisar 20 – 40 ton pati kering/ha/tahun, sehingga Indonesia memiliki potensi sagu dalam bentuk pati kering sebesar 111,6 – 223,2 juta ton/ tahun.
“Berdasarkan data BPS, kebutuhan beras nasional sekitar 30,3 juta ton, sedangkan produksi pati kering sagu per tahunnya mencapai 4-7 kali lipat kebutuhan beras nasional,” ujarnya.
Ia menjelaskan, sagu merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia. Satu pohon sagu yang ditebang dapat menghasilkan pati kering sebanyak 200-400 kilogram. Jika kebutuhan karbohidrat per kapita per tahun sebesar 110 kilogram, maka satu pohon sagu dapat mencukupi kebutuhan karbohidrat 2-4 orang per tahun.
“Kebutuhan karbohidrat nasional dapat ditopang oleh sagu. Sebagai tumbuhan potensial untuk pemenuhan kebutuhan tepung nasional, diperlukan pemanfaatan secara efisien dan maksimal,” imbuhnya. Menurutnya, sagu di berbagai daerah umumnya masih tumbuh secara alami, bahkan tanpa perlakuan budidaya sedikitpun. Namun, ketika sagu sudah mencapai akhir masa vegetatif atau awal masa generatif, sagu sudah dapat dipanen. Inilah yang disebut dengan istilah “panen dulu baru tanam”, sangat berbeda dengan komoditas pertanian secara umum.
“Perlakuan tanam setelah panen dilakukan sebagai upaya penataan. Sagu dapat diperbanyak secara vegetatif karena anakan sagu akan terus bermunculan di sekitar indukan. Oleh karena itu, sepanjang tahun akan tetap terdapat pohon sagu yang bisa dipanen. Karena anakan sagu tumbuh secara tidak teratur, maka diperlukan penataan dengan cara pindah tanam sagu fase anakan,” tuturnya.
Dalam rangka pengembangan Infas IPB-01, IPB University bekerjasama dengan pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, berupa pertanian terpadu atau integrated farming antara sagu dengan komoditas hortikultura, palawija, ternak (itik dan sapi), serta budidaya ikan lele.
Menurutnya, sagu dapat dipanen pada tahun tertentu, sedangkan sagu pada rumpun yang sama dapat dipanen kembali setelah 1,5 tahun. Waktu tersebut cukup lama sehingga petani tidak memiliki pemasukan. Petani yang memiliki kebutuhan mendesak dalam kurun waktu antar panen biasanya menjual pohon sagu yang belum masak tebang. Sistem penjualan pohon yang belum masak tebang disebut dengan ijon.
“Dalam rangka pencegahan sistem ijon, maka dilakukan pertanian terpadu sehingga petani sagu memiliki pendapatan secara berkala. Pendapatan harian didapatkan dari telur itik atau bebek, perbulan sayur (kangkung, bayam, caisim dan pakcoy), per dua bulan dari budidaya lele, per tiga bulan dari palawija (jagung, kacang Panjang dan kedelai). Untuk pendapatan tahunan dari sagu dan sapi. Pohon sagu yang dipanen kemudian diolah menjadi pati, lalu diolah lebih lanjut menjadi berbagai macam produk berikut juga turunannya. Model penanaman sagu secara terpadu dapat dilakukan juga di daerah yang memiliki kawasan sagu,” jelasnya.
Komoditas pertanian yang digunakan sebagai sumber karbohidrat kebanyakan memiliki gluten. Gluten merupakan protein yang dapat memicu penyakit, seperti rusaknya kekebalan tubuh dan usus yang luka atau disebut dengan celiac pada orang yang sensitif terhadap gluten. Sagu yang telah diolah menjadi tepung memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, umumnya 60 persen terdiri atas karbohidrat. Sebagai makanan yang sehat, dianjurkan untuk mengkonsumsi sagu meskipun tidak setiap hari atau diversifikasi sebagai pengganti nasi.
Langkah selanjutnya dalam pengembangan Infas IPB-01 adalah pengembangan pasca panen sagu. Beras sagu (Galih Sagu Pangan), Sago Mee (PT Langit Bumi Lestari), Aneka pasta sagu (Sagolicious), Aneka makanan kecil (Sagu Hajar), Aneka makanan olahan sagu (Pondok Sagu Metro), Aneka Makanan Indonesia Timur (Maluku Satu Rasa) dan Produsen Tepung Sagu (ANJ).
Selanjutnya, terdapat komoditas pangan dan obat yang tumbuh di bawah tegakan sagu. Tumbuhan pangan yang umumnya dijumpai di bawah tegakan sagu yaitu pisang, kelapa, serta berbagai jenis umbi-umbian. Berbagai jenis tumbuhan tersebut dikonsumsi dengan berbagai cara, seperti dikonsumsi langsung, dikukus, dibakar, digoreng, ditumis, hingga direbus. Bentuk pemanfaatan tumbuhan pangan juga beraneka ragam, sebagai pewarna makanan, buah, sayur, sumber karbohidrat, kudapan, bahan minuman, dan bumbu masak.
Selain komoditas pangan, komoditas yang digunakan sebagai obat juga banyak tumbuh di bawah tegakan sagu. Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat terdiri atas, daun, kulit, rimpang, dan umbi. Pengolahan bagian tumbuhan sebagai obat dapat dilakukan dengan cara diparut kemudian diseduh dengan air hangat. Tumbuhan obat yang tumbuh di bawah tegakan sagu digunakan untuk penyakit luar dan penyakit dalam. Penyakit luar dengan cara dioles untuk luka atau ditetes dan penyakit dalam dengan cara diminum. Kategori penggunaan tumbuhan obat yang lazim digunakan pada saat sakit, setelah sakit, setiap mandi, hingga setiap hari.
Pengembangan sagu yang sangat potensial tersebut, tentunya perlu dukungan dari berbagai pihak. Melibatkan pentahelix yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi dan lembaga penelitian, pebisnis, tokoh adat dan tokoh masyarakat serta media massa. (*)