Subak, Harmoni Manusia, Alam, dan Pencipta
Subak, Harmoni Manusia, Alam, dan Pencipta
Subak, Harmoni Manusia, Alam, dan Pencipta

Kompas.com – Sejak subak, sistem tata guna air di Bali, masuk dalam nominasi warisan dunia UNESCO, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, mulai ramai oleh kunjungan wisatawan asing dan domestik.
Para wisatawan bukan hanya penasaran dengan subak tapi juga datang untuk menikmati keindahan alam Desa Jatiluwih yang khas dengan panorama sawah berundak dengan latar belakang Gunung Batu Karu bagai lukisan alam.
Selain hawanya yang sejuk, di areal persawahan seluas 303 hektar itu para wisatawan juga menikmati pemandangan khas para petani yang mengerjakan sawah atau sembahyang di pura yang ada di tengah sawah sebelum memulai kegiatan.
Pada Senin (25/6) sekitar 280 pelajar berusia 8-18 tahun tampak berkumpul di bawah tenda di tengah sawah. Mereka mendengarkan penjelasan tokoh-tokoh Desa Jatiluwih akan sistem subak dan tradisi yang dilakukan sebelum, selama, dan setelah menanam padi.
Pelajar yang menjadi peserta World Heritage Education program English First (EF) dan UNESCO itu juga diajak berbaur dengan masyarakat desa termasuk memanen padi secara langsung didampingi petani lokal.
I Nengah Wirata, kepala desa Jatiluwih, mengatakan sejak subak masuk dalam nominasi UNESCO telah terjadi peningkatan turis sampai 50 persen, terutama wisatawan dari Eropa. Ia menyadari bertambahnya turis bisa berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan tempat menginap atau restoran yang akan mendorong pengalihan fungsi lahan pertanian.
“Makanya kami berusaha memproteksi harga hasil panen, bibit, juga pupuk, sehingga petani tetap merasa untung dengan pertaniannya,” katanya.
Para wisatawan juga diarahkan hanya tour menikmati keindahan desa tapi menginap di tempat lain. Sebagai daerah lumbung padi, Desa Jatiluwih yang terletak 25 km dari Tabanan, itu diharapkan tetap terjaga fungsinya.
Harmoni semesta
Subak, yang sudah berusia sekitar satu abad tersebut, menurut I Wayan Alit Artawiguna, koordinator tim ahli penyusun proposal warisan budaya, mengandung aspek filosofi harmoni manusia, alam, dan Tuhan.
Alit menjelaskan, sistem subak terkait erat dengan ajaran Hindu yang tertuang dalam Tri Hita Karana atau Tiga Sumber Kebaikan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, serta hubungan manusia dengan manusia.
Harmonisasi hubungan antarkomponen itu diterapkan secara turun-temurun lewat subak yang sarat makna solidaritas sosial, gotong royong, dan toleransi.
Nilai-nilai harmoni itu bisa diwakili dari pengaturan pembagian air yang adil antar petani. Semua dirembukkan secara bersama-sama, demikian juga penetapan waktu tanam dan jenis padinya.
Di Jatiluwih, petani wajib menanam padi lokal yang kebanyakan menghasilkan beras merah pada musim penghujan sekitar awal Januari, baru di musim tanam kedua sekitar bulan Juli petani boleh menanam palawija atau padi jenis lainnya.
“Bukan hanya jenis padinya tapi waktu penanaman harus serempak. Tujuannya untuk mengurangi hama,” kata Wirata.
Hubungan harmonis itu berjalan turun-temurun. Jika ada pelanggaran, warga sendiri yang menentukan sanksinya. “Yang melanggar harus membuat upacara di pura,” katanya.
Aspek-aspek filosif dalam tradisi agraris masyarakat Bali itu menurut Alit menyebabkan tim pembuat proposal mengajukan empat lokasi sebagai nominasi warisan dunia. Lokasi itu antara lain Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, Daerah Aliran Sungai Pakerisan, Caturrangga Batu Karu (termasuk Jatiluwih), serta Pura Taman Ayun.
“Keempat situs itu bukan cluster tapi satu kesatuan,” kata Alit.
Di Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur misalnya, masyarakat Bali percaya di sanalah dewi kesuburan beristana sehingga sebelum panen petani melakukan sembahyang di sana. “Danau Batur sendiri merupakan wujud kesuburan dalam bentuk air yang mengairi subak-subak,” paparnya.
Sementara itu di DAS Pakrisan, Tampak Siring, dipercaya sebagai lahirnya sistem subak yang sampai sekarang masih bertahan. Sedangkan Catur Rangga Batu Karu adalah daerah penyangga yang mengatur keseimbangan. Di sini juga banyak terdapat pura-pura.
Sedangkan Pura Taman Ayun dipercaya sebagai pura yang mengatur subak di Tabanan Timur dan Badung Barat. “Para petani memohon tirta suci di tempat itu,” imbuhnya.
Subak yang sudah berusia lebih dari seabad itu, menurut Alit, sangat penting untuk dilestarikan. Masyarakat Bali sangat berharap Subak ditetapkan sebagai warisan dunia yang harus dijaga. Kini mereka masih menunggu keputusan UNESCO yang mulai 24 Juni 2012 – 6 Juli 2012 sedang bersidang.
“Tetapi ditetapkan atau tidak, kita wajib melestarikannya,” kata Alit.
Senada dengan Alit, Masanori Nagaoka, Kepala Unit Budaya Kantor UNESCO Jakarta, menegaskan bahwa penetapan World Heritage hanyalah alat untuk mendukung pelestarian.
“Penetapan tersebut bukan tujuan akhir, tetapi sebuah awal bahwa masyarakat Indonesia berjanji pada dunia untuk melestarikan situs yang tercantum,” kata Masanori.
Sumber : Kompas.com