Prospek Bisnis Kehutanan di Indonesia
Prospek Bisnis Kehutanan di Indonesia
Prospek Bisnis Kehutanan di Indonesia |
|
|
Jika Anda jalan-jalan di pelosok perdesaan di Pulau Jawa,baik naik kereta,mobil,motor,maupun sepeda, maka Anda akan dengan mudah menjumpai hutan tanaman sengon di sekitar pemukiman penduduk.
DI beberapa daerah, pendapatan bersih dari hutan tanaman sengon telah dijadikan sebagai patokan harga menyewakan tanah, menggantikan pendapatan bersih dari tebu atau tanaman lain. Indonesia memiliki kawasan hutan produksi yang sangat luas yang sebagian diantaranya masih belum dikelola secara produktif. Artikel ini akan memberi gambaran prospek bisnis kehutanan di Indonesia. Untuk itu, artikel ini menguraikan isu-isu pasar produk kayu dunia, potensi yang dimiliki Indonesia, peluang bisnis kayu, peluang bisnis nonkayu,hambatan yang terjadi. Permintaan produk kayu dunia terus mengalami peningkatan.Tiga pasar utama produk hutan primer adalah Eropa,Amerika Utara dan Tengah,dan Asia.Eropa masih menjadi eksportir netto. Eksporimpor untuk Amerika Utara dan Tengah kurang lebih berimbang. Dua negara besar di pasar Amerika Utara dan Tengah ini adalah Amerika Serikat (AS) dan Kanada sebagai eksportir netto terbesar. Sebagian besar kayu yang diproduksi Kanada tergolong sebagai softwood, sedangkan pasar AS juga membutuhkan hardwood yang banyak diproduksi di Indonesia. Sementara itu, untuk pasar Asia impor masih jauh melampaui ekspornya.NegaraAsia pengimpor kayu terbesar adalah China, Jepang, dan Korea Selatan. Indonesia mempunyai potensi dan keunggulan komparatif dalam produk hasil hutan, khususnya kayu. Beberapa unsur keunggulan tersebut mencakup luas kawasan yang sangat besar,lingkungan tempat tumbuh yang mendukung, tenaga kerja yang sangat melimpah, serta budaya masyarakat yang masih dekat dengan bertanam pohon. Menurut data Statistik Kehutanan 2008, luas hutan produksi tetap total adalah 59,1 juta hektare yang terbagi ke dalam hutan produksi tanaman 10,1 juta hektare dan hutan produksi alam 49,0 juta hektare. Dari hutan produksi alam tersebut, 26,2jutahektaretelahdikelola dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Dengan demikian terdapat sekitar 22,8 juta hektare hutan alam yang belum jelas pengelolanya yang hadir secara efektif di lapangan. Tanah dan iklim memungkinkan hutan di Indonesia dapat tumbuh dengan sangat cepat.Karakteristik ini sangat ditakuti negara-negara Eropa yang secara tradisionil merupakan penghasil kayu utama. Jika di Eropa hutan tanaman untuk pulp baru dapat dipanen setelah berumur 30–40 tahun bahkan lebih, di Indonesia hutan tanaman pulp dapat dipanen pada umur kurang dari 10 tahun. Situasi ini sering menimbulkan perang dagang yang tidak sehat dengan bersembunyi di balik berbagai isu, khususnya isu lingkungan. Isu dumping yang diharamkan dalam perdagangan internasional pernah juga dilontarkan untuk menghambat laju industri kehutanan kita. Indonesia berpeluang besar menjadi produsen kertas terbesar di dunia dan hal ini tampaknya hanya masalah waktu. Gambaran bagaimana tanah dan iklim Indonesia sangat mendukung pertumbuhan hutan dapat disimak contoh berikut. Angkaangka asumsi dibuat serealistis mungkin, bahkan cenderung dibesarkan untuk biaya dan agak dikecilkan untuk harga jual dan produksi. Biaya tanam dan pemeliharaan per hektare sengon adalah Rp10 juta.Volume kayu panen dengan daur 6 tahun adalah 100 meter kubik per hektare.Harga jual adalah Rp350 ribu per meter kubik.Apa yang diperoleh dari hutan sengon tersebut setara menabung dengan tingkat bunga riil 23% per tahun. Peluang bisnis hasil hutan bukan kayu juga sangat menjanjikan. Ambil contoh bisnis rotan misalnya. Ada banyak jenis rotan yang dijumpai di Indonesia.Sekitar 85% rotan di pasar dunia berasal dari Indonesia. Potensi rotan lestari mencapai 622 ribu ton per tahun, sementara produksi riil baru mencapai 109 ribu ton dan hanya 40 ribu ton yang dapat ditampung industri pengolahan dalam negeri. Angka-angka tersebut menggambarkan betapa besar potensi rotan yang perlu diolah untuk menciptakan nilai tambah dan lapangan kerja. Produk dan jasa hutan lainnya masih sangat banyak yang masih menunggu sentuhan yang kreatif dan produktif. Disamping gambaran potensi yang luar biasa di atas tentu saja ada beberapa hambatan yang perlu diperhatikan dan diperbaiki. Beberapa hambatan yang masih menghadang bisnis hutan di Indonesia adalah kepastian kawasan, tata kelola,dan struktur pasar. Kepastian kawasan yang masih sering menjadi masalah. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, terdapat sekitar 22,8 juta hektare tanpa kehadiran pengelola yang efektif di lapangan.Keadaan ini menyebabkan perambahan kawasan hutan menjadi sulit dicegah. Beberapa bagian dari areal yang 22,8 juta hektare tersebut telah dimanfaatkan masyarakat setempat.Tentu saja mereka juga mempunyai hak untuk hidup dan mengelola sumberdaya alam Indonesia. Hal yang diperlukan adalah bagaimana menangani masalah ini sehingga semua pihak memperoleh kepastian akan hak-haknya dan tidak terjadi konflik yang tidak perlu. Masyarakat perlu diajak serta membangun dan menikmati hasil hutan di negeri ini,tetapi terhadap pelanggar maka penegakan hukum harus dilakukan dengan tegas. Tata kelola bisnis kehutanan yang masih rumit.Perizinan dan pelayanan pemerintah lainnya masih sering dikeluhkan pelaku bisnis. Misalnya dalam hal Rencana Karya Tahunan Hutan Tanaman Industri (RKT-HTI),pengusaha masih diwajibkan untuk mengajukan RKTHTI untuk memperoleh persetujuan pemerintah. Sebenarnya proses seperti ini tidak diperlukan. Memang pemerintah telah memberi kelonggaran dalam bentuk self-assessment terhadap perusahaan atau pelaku bisnis yang berkinerja baik. Namun demikian alangkah cantiknya bila hal-hal yang tidak perlu ada dihilangkan saja untuk membuat bisnis kehutanan Indonesia semakin kompetitif. Dalam bahasa ekonomi, biaya transaksi bisnis kehutanan di Indonesia masih tinggi. Artinya, pihak pemerintah harus terus menerus melakukan pembenahan untuk memberikan pelayanan terbaik dan termurah. Struktur pasar produk hasil hutan sangat beragam tergantung jenis dan tempat. Struktur pasar kayu bulat di Pulau Jawa sangat kompetitif,di mana masing-masing penghasil kayu dan pembelinya berjumlah sangat banyak. Sementara itu, struktur pasar kayu bulat di luar Pulau Jawa masih cenderung oligopsonistik. Industri pengolah kayu di luar Jawa umumnya berskala besar dan memiliki areal sendiri, sehingga kayu dari produsen kecil yang tidak memiliki industri sendiri kesulitan memasarkan kayu bulat yang diproduksinya. Dampak negatif dari struktur oligopsonistik dapat dikurangi atau dihilangkan melalui pencabutan larangan ekspor kayu bulat dari hutan tanaman. Hal ini perlu dikaji lebih serius karena struktur pasar yang oligopsonistik ini akan memberikan dampak yang sangat buruk terhadap pemerataan pembangunan dalam jangka panjang. Karena itu dapat disimpulkan bahwa bisnis kehutanan di Indonesia masih sangat menjanjikan,baik bisnis kayu maupun hasil hutan lainnya. Lahan yang sangat melimpah, pasar dunia yang sangat terbuka,dan tanah serta iklim yang sangat bersahabat perlu segera ditransformasi menjadi kesejahteraan rakyat. Semua komponen bangsa perlu melihat potensi ini dengan lebih jernih dan serius.(*) SUDARSONO S Sumber : http://www.seputar-indonesia.com
|