DRI IPB

Program Nasional Kembarisasi Sapi : Keteledoran atau ketidaktahuan ?*)

rrnoor
Warta LPPM

Program Nasional Kembarisasi Sapi : Keteledoran atau ketidaktahuan ?*)

rrnoorProgram Nasional Kembarisasi Sapi : Keteledoran atau ketidaktahuan ?*)

Ketika Balitbang Kementrian Pertanian mencanangkan dan memprioritaskan program penelitian yang memfokuskan untuk menghasilkan sapi kembar dalam rangka percepatan untuk mencapai swasembada daging nasional, kegalauan yang luar biasa timbul di kalangan para peneliti reproduksi dan genetika.

Secara logika memang program ini tampak sekilas sebagai suatu program yang “monumental” dan “spektakuler”, akan tetapi dilihat dari rekam jejak penelitian tentang kembar pada sapi, program ini boleh dikategorikan sebagai suatu “ignorant”, atau bahkan dapat dikategorikan sebagai suatu ketedoran, sebab secara ilmiah tingkat keberhasilan program ini sangat kecil sekali.

Kembar pada sapi

Dari hasil penelitian ditemukan fakta bahwa kejadian kembar fraternal  (kejadian kembar dengan dua ari ari) pada sapi hanya 1.7 %, sedangkan kejadian kembar identik lebih kecil  lagi, yaitu 0.4%, kejadian kembar siam 1 dalam setiap 80.000 kelahiran, sedangkan kembar melalui treatment kesuburan dapat mencapai  20-25%.  Data ini secara tegas menyatakan bahwa kejadian kembar pada sapi, sebagaimana halnya pada manusia merupakan kejadian yang luar biasa dengan peluang sangat kecil. 

Data lain menunjukkan bahwa peluang sapi melahirkan kembar dengan jenis kelamin keduanya jantan peluangnya lebih dari 50%.  Data kelahiran yang cukup mewakili dari USA, menunjukkan bahwa pada kejadian kembar, sepertiganya merupakan kembar identik, sepertiganya kembar dengan jenis kelamin sama dengan tipe kembar fraternal dengan jenis kelamin sama, sedangkan sepertiganya lagi merupakan kembar fraternal dengan jenis kelamin berbeda. Kelahiran kembar ini pada sapi umumnya dipengaruhi oleh berapa faktor, diantaranya (1) ada tidaknya sejarah kelahiran kembar pada silsilah tetua, (2) bangsa sapi, (3) catatan apakah induknya  pernah melahirkan anak kembar sebelumnya, (4) pernah tidaknya dilakukan treatment kesuburan.

Permasalahan

Secara alamiah umumnya sapi melahirkan satu anak pada setiap kelahiran.  Apabila ada induk sapi yang bunting kembar permasalahan utama yang timbul biasanya adalah rendahnya bobot lahir anak (umumnya hanya sekitar 70% dari bobot anak sapi kelahiran tunggal), meningkatnya tekanan pada uterus, kematian embrio dalam kandungan, yang umumnya terjadi 25% pada sepertiga awal masa kebuntingan,  kelahiran prematur,  meningkatnya peluang kematian pada beberapa saat setelah dilahirkan,  serta pengaruh gangguan sistem syaraf.

Kejadian yang paling khas pada sapi adalah “Freemartins”, yaitu kejadian mandulnya sapi betina yang dilahirkan pada kejadian kembar fraternal jantan-betina. Fenomena ini ditemukan oleh Hunter Bell pada tahun 1779.  Peluang munculnya kejadian ini pada sapi mencapai 90%, sedangkan pada kambing dan domba hanya 1-7%.  Kemandulan anak betinanya ini disebabkan karena pada saat di dalam kandungan,  suplai darahnya terhubung antara anak kembar jantan dan betinanya.  Dalam perkembangannya , sistem hormonal  anak jantan dalam kandungan lebih dahulu terbentuk dan akibat terkoneksinya suplai darah, maka sistem hormonal jantan ini mempengaruhi pembentukan sistem hormonal betina.  Akibatnya pembentukan organ reproduksi betina menjadi tidak normal dan bahkan dalam beberapa kasus sering dijumpai sapai betina yang memiliki testis.

Ciri khas anak sapi betina yang menagalami kelainan freemartins ini adalah : vagina yang pendek, gonad yang kecil dan mengalami atropi, perbesaran klitoris, menebalnya cervix, kurang menunjukkan tanda tanda estrus, serta memperliharkan tingkah laku seperti sapai jantan.  Kesemuanya ini akan mengakibatkan sapai tersebut mengalami kemandulan.

Saran

Mengingat semua permasalahan yang akan timbul jika program sapi kembar diteruskan secara nasional, maka disarankan agar lebih baik alokasi dana dialihkan untuk penguatan program yang lebih rasional seperti program inseminasi buatan atau bahkan dapat juga ditingkatkan untuk penguatan program embrio transfer.  Disamping itu dana juga dapat dialokasikan untuk perbaikan nutrisi dan manajemen pemeliharaan, sehingga secara tepat waktu sapi dapat bunting kembali setelah melahirkan.  Memang tampak cara ini merupakan cara tradisional, akan tetapi cara cara inilah yang paling rasional untuk dilakukan dan dapat memberikan dampak nyata dalam peningkatan produktivitas ternak untuk mendukung program swasembada daging.

Dalam mencanangkan program secara nasional sebaiknya dilakukan secara matang dan didukung oleh data ilmiah yang memadai, bukan hanya pengalaman dengan cara melihat kejadian  kembar secara empiris  di lapang semata mata.  Sangatlah disayangkan pada saat dana penelitian sangat minim, dana dialokasikan pada program yang secara ilmiah dapat dibuktikan keberhasilannya tidak akan lebih dari 5%.

*) Penulis : Ronny Rachman Noor, Guru Besar pemuliaan dan Genetika Fapet IPB