Nasib Pertanian Kita
Nasib Pertanian Kita
Ali Khomsan
Dampak pemanasan global mulai dirasakan. Kekeringan mulai melanda dan petani-petani kita menjerit karena kemungkinan sawahnya akan puso. Tanpa kekeringan saja, hidup petani sudah susah, apalagi ditambah bencana kelangkaan air akibat musim kering berkepanjangan. Ketahanan pangan nasional dapat terganggu apabila petani gagal panen. Yang juga perlu mendapat perhatian adalah kesejahteraan petani akan semakin terpuruk.
Selama ini, kita belum berhasil mengangkat derajat ekonomi petani. Meski setiap hari mereka rajin ke sawah, namun kemiskinan adalah yang paling akrab menemani petani-petani kita. Nasibnya tidak membaik meski pemerintahan sudah berganti berkali-kali.
Populasi petani kita lebih banyak didominasi oleh petani gurem dengan pemilikan lahan sangat sempit. Hal ini membuat sektor pertanian tidak lagi menjadi sektor yang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Dalam periode 10 tahun, 1993-2003, jumlah petani gurem, yang semula 10,8 juta, bertambah menjadi 13,7 juta orang. Pada 2002 dari total penduduk miskin di Indonesia, lebih dari separuh adalah petani yang tinggal di pedesaan. Data persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas, menurut provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada 2003 (BPS, 2004), terbesar adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian.
Persoalan lain yang dihadapi sektor pertanian kita adalah kenyataan, produk-produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk dari negara tetangga, seperti, Thailand dan Vietnam. Di mal-mal atau tempat penjualan buah, konsumen lebih senang memilih buah impor yang penampilan fisiknya bagus, rasanya enak, dan harganya terjangkau. Mencari apel Malang rasanya lebih sulit daripada mendapatkan apel Washington, apel Taiwan, dan apel Tiongkok.
Di negara kita, cukup banyak universitas yang memiliki fakultas pertanian dengan bidang ilmu agronomi, hama dan penyakit, agroklimatologi, ilmu tanah, mekanisasi pertanian, dan lain-lain. Hal ini seharusnya menjadi titik kekuatan pembangunan pertanian. Sayangnya, banyak sarjana pertanian yang tidak tertarik bekerja di bidang pertanian.
Penyebab ketidakmampuan bangsa ini untuk membangun pertanian yang tangguh sangat kompleks. Sebagian orang beranggapan riset pertanian masih sangat lemah. Riset pertanian di negara kita dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian yang bernaung di bawah Deptan dan perguruan tinggi yang memiliki fakultas pertanian. Para peneliti adalah pegawai negeri dengan gaji maksimal Rp3 juta per bulan. Minimnya penghasilan peneliti disinyalir menjadi penyebab rendahnya kualitas riset.
Kebutuhan Standar
Membandingkan peneliti luar dengan peneliti Indonesia ibarat menyandingkan harimau dengan kucing. Kalau harimau mampu menangkap rusa, maka kucing hanya bisa memburu tikus. Jadi, logis kalau penelitian pertanian di Indonesia tidak maju-maju atau bahkan mungkin kurang bermanfaat bagi upaya pemenuhan kebutuhan pangan seluruh bangsa ini.
Peneliti pertanian dengan tututan kinerja yang tinggi tentu harus dibayar secara layak. Gajinya harus mencukupi kebutuhan standar sebagai seorang peneliti yang umumnya bergelar master atau doktor, dengan jabatan ahli peneliti utama atau profesor. Peneliti pertanian yang mumpuni tidak perlu lagi memikirkan pekerjaan sambilan untuk menutupi biaya dapur.
Di Indonesia, setiap saat peneliti, baik di lembaga penelitian pertanian maupun di universitas, harus berakrobat menciptakan proyek-proyek riset atau pekerjaan sampingan lainnya dengan harapan honornya bisa untuk menutup kebutuhan hidup. Sangat ironis bahwa akhirnya riset yang dilakukan oleh peneliti di Indonesia terkontaminasi antara idealisme ilmiah dan idealisme untuk asap dapur.
Potret seperti ini menggambarkan buramnya kehidupan penelitian pertanian di Indonesia. Keinginan untuk menempatkan riset sebagai pilar membangun pertanian akhirnya terkendala oleh sistem pengelolaan penelitian yang belum optimal.
Baru-baru ini, Deptan mengadakan kolaborasi riset bersama perguruan tinggi dengan melibatkan mahasiswa pascasarjana. Dana yang tersedia kurang lebih Rp 100 juta untuk setiap judul penelitian. Bayangkan, tiga mahasiswa pascasarjana dan 2-3 dosen/peneliti Deptan harus menghasilkan karya penelitian yang bermutu dengan dana hanya Rp100 juta. Suatu jumlah yang relatif kecil untuk dapat menghasilkan temuan iptek pertanian yang baik.
Peneliti pertanian di Deptan/universitas se-Indonesia jumlahnya mungkin ribuan orang. Mereka harus bersaing memperebutkan dana penelitian yang terbatas. Kalau sudah 2-3 kali mengajukan proposal dan gagal akhirnya putus asa tidak mau mencoba lagi. Penelitian pertanian dan bidang-bidang lain akhirnya mandek dan nasib pertanian kita makin merosot, karena tidak didukung iptek yang memadai.
Penulis adalah Guru Besar Pangan dan Gizi IPB
Sumber : http://www.suarapembaruan.com