Menatap Laut Menjadi Ladang
Menatap Laut Menjadi Ladang
Jakarta – Secara riwayat, Indonesia sulit melepaskan diri dari kehidupan agraris. Ladang menjadi tumpuan keberlanjutan kehidupan. Ketika kemudian ladang di atas tanah tersebut mulai menghilang, ke mana kita akan bertumpu?
Seusai Al Gore merilis film dokumenter bertajuk Inconvenient Truth, seluruh dunia gempar. Kejadian-kejadian alam terbaru berhasil dikaitkan satu sama lain oleh mantan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) tersebut sebagai bentuk anomali dari perubahan kondisi lingkungan secara global. Biang permasalahan kemudian ditujukan kepada satu hal, yaitu terlalu tingginya keluaran gas-gas dari bumi yang berada di atmosfer. Meskipun di atmosfer diketahui telah ada gas-gas tersebut semenjak dahulu kala, bila gas-gas tersebut berada pada posisi tak seimbang atau satu gas lebih banyak dari yang lain, dapat mengakibatkan berbagai bentuk perubahan pada kondisi lingkungan bumi.
Banyaknya gas karbon dioksida (CO2) diklaim menjadikan bumi seperti berada di dalam sebuah rumah kaca. Sinar matahari yang masuk ke bumi pada akhirnya tak mampu keluar lagi ke angkasa lantaran tertahan oleh padatnya gas di atmosfer. Sinar matahari kemudian terpantul-pantul lagi berulang kali hingga menyebabkan kondisi panas yang makin merata di seluruh permukaan bumi. Kejadian ini yang kemudian disebut fenomena pemanasan global. Sama seperti apa pun yang ada di dunia ini, panas menyebabkan berbagai massa dan bentuk menjadi berubah. Bunga-bunga menjadi layu, air menghilang, dan es mencair karena panas.
Berbagai prediksi kerugian kemudian mengemuka. Risiko hilangnya plasma nutfah dan biodiversitas menggema. Perubahan iklim lantaran proses daur hidrologi yang berbeda juga mengadang. Pada gejala pencairan es, ramalan akan hilangnya banyak daratan karena penambahan debit air menjadi satu logika kerugian yang kini tampaknya mulai terbukti benar.
Di Indonesia, laut sebenarnya bukan barang baru. Cerita-cerita dari nenek moyang jelas menampakkan bagaimana berjayanya berbagai suku bangsa di Nusantara melalui lautan. Sebut saja, Sriwijaya atau Majapahit, para pelaut ulung Bugis, Orang Bajo, atau Ternate dan Tidore. Semenjak lama, riwayat mereka tak pernah lepas-lepas dari laut.
Terakhir ini, Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (BRKP-DKP) mengeluarkan pernyataan kalau jumlah laut kita lebih dari tiga kali lipat jumlah daratan. “70 persen bagian wilayah Indonesia adalah lautan,” ucap Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi pada sebuah kesempatan. Hanya sayangnya, seperti semua yang kita ketahui, jumlah sedemikian besar itu belum maksimal didayagunakan.
Banyak faktor yang melingkupinya. Faktor budaya diklaim menjadi penyebab paling utama di mana budaya agraris yang konstan dijalankan sepanjang pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru di Indonesia menjadikan laut hanya sebagai pajangan semata.
Baru pada masa reformasi, laut kembali ditengok, terbukti dengan lahirnya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada awal masa reformasi. Lahirnya DKP jelas membuat sektor kelautan kembali menjadi bagian yang diperhatikan.
Kondisi laut saat ini laksana pisau bermata dua. Satu sisi bisa menjadi keburukan karena makin bertambah debitnya dan bisa menenggelamkan banyak pulau kecil di Indonesia. Sisi yang lain merupakan keuntungan lantaran makin banyaknya sumber daya dan kemungkinan nilai fungsi penyerapan CO2 di angkasa.
Nilai tambah terakhir tadi yang kemudian saat ini banyak didengung-dengungkan. Apalagi menjelang dilangsungkannya Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference/WOC) di Manado, 11-14 Mei 2009 nanti. “Dengan luasan saat ini, sebenarnya laut di Indonesia mampu menyerap sekitar 40,4 juta ton CO2 per tahun,” ujar Gellwynn Jusuf, Kepala BRKP, Jumat (24/4).
Itu baru fungsi laut saja dalam menyerap CO2, belum digabungkan dengan fungsi terumbu karang dan plankton dalam menyerap karbon. Tercatat angka 250 juta ton CO2 per tahun diperkirakan menjadi kemampuan total kelautan Indonesia dalam menyerap salah satu gas penyebab pemanasan global tersebut. Dapat dibayangkan keuntungan yang bisa diraih bila laut Indonesia bisa dijual melalui skema perdagangan karbon yang kini banyak dibicarakan.
Di lain sisi, Sekretaris Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Agus Purnomo berpikir berbeda. Ketika ditemui dalam sebuah diskusi, pria yang akrab dipanggil Pungky ini menyatakan kalau sebenarnya fungsi laut sebagai penyerap CO2 masih harus dibuktikan kembali secara ilmiah. “Karena menurut beberapa penelitian lain, seperti di laut bagian selatan bumi, diperkirakan malah melepaskan CO2 ke angkasa,” paparnya.
Laut melepaskan CO2, menurutnya, karena CO2 yang diserap laut sebenarnya disimpan di dasar laut dalam. Penimbunan CO2 di laut dalam itu bisa saja terlepas kembali. Hal itu kemudian yang melahirkan asumsi bahwa laut sebenarnya bisa saja melepaskan CO2 dan malah makin membuat berat beban lingkungan di bumi ini.
Terlepas dari itu semua, berbagai dampak dari naiknya permukaan air laut jelas menimbulkan kerugian sampai saat ini. Rob atau banjir pasang yang kerap menimpa pelabuhan pelelangan ikan Muara Baru jelas membuat perputaran ekonomi berkurang. Terjangan ombak yang kian besar kini makin terasa di pinggir laut, mengakibatkan rusaknya rumah-rumah atau bangunan di pinggir laut. Masalah lain, seperti kondisi cuaca ekstrem di lautan atau badai dan ombak besar, diperkirakan akan makin menggejala.
Ibnu Sofyan, peneliti rupa muka laut dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) memperkirakan kalau saat ini kondisi di lautan berubah dari beberapa dekade lalu. Kalau dengan kondisi dahulu, dari enam kemungkinan terjadinya kondisi ekstrem, hanya dua yang biasanya terjadi. Namun, saat ini bisa jadi enam prediksi tersebut menjadi kenyataan.
Tak ada cara lain untuk menghadapi hal tersebut selain dengan beradaptasi, mulai dari menakar dan mempersiapkan kemampuan masyarakat pesisir serta nelayan dalam menghadapinya, hingga mempersiapkan teknologi dan perencanaan tata ruang yang sesuai dengan kebutuhan.
Sayangnya, proses adaptasi ini sampai sekarang perlu dipertanyakan kembali keberadaannya. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) baru sebatas menyiapkan Rencana Aksi Nasional mengenai Perubahan Iklim (RAN-Mapi). Di atas kertas, rencana tersebut terlihat ideal meskipun sampai sekarang proses inventarisasi yang dikatakan sebagai langkah awal masih saja belum terlihat hasilnya.
Sekarang, seperti berkejaran dengan waktu, kita diharuskan siap pula dengan kondisi kelautan yang terasa merugikan. Nelayan-nelayan yang makin sulit melaut, terumbu karang yang mati dan memutih, ditambah masalah-masalah internal, seperti pencurian ikan dan kerusakan lingkungan, membuat kita laksana hidup di tengah badai. Kekacauan timbul karena perubahan. Padahal, sebenarnya semua bisa menjadi nilai positif bila kita mau melihatnya sebagai ladang yang kita tanami dengan kasih sayang. n
Oleh
Sulung Prasetyo
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0904/28/sh04.html