Membaca Laporan ADB tentang Ekonomi Perubahan Iklim
Membaca Laporan ADB tentang Ekonomi Perubahan Iklim
”Sekitar 80 persen dari 563 juta penduduk di kawasan Asia Tenggara bermukim dalam jarak 100 kilometer dari pantai dan 43 persen angkatan kerjanya ada di sektor pertanian. Kawasan ini menyumbang 12 persen emisi gas rumah kaca global. Perubahan penggunaan lahan dan kehutanan menyumbang 75 persen emisi gas rumah kaca regional,” tutur Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup yang menjadi pembahas dalam peluncuran laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) tersebut di Jakarta, beberapa hari lalu.
Kalau tidak ada tindakan serius untuk mengendalikan perubahan iklim, menurut laporan itu, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam akan mengalami kerugian, yang jika digabung setara dengan 6 persen produk domestik bruto (PDB) mereka setiap tahun sampai akhir abad ini. Angka itu melebihi kerugian akibat krisis keuangan global yang sedang berlangsung saat ini.
”Dunia saat ini terkepung persoalan ekonomi, dan perhatian lebih ditujukan untuk mengatasi masalah pengangguran,” ujar Emil Salim.
Stimulus ekonomi yang diperjuangkan dalam pertemuan G-20 seharusnya dikembangkan untuk mengatasi persoalan lingkungan dan pencapaian target-target Sasaran Pembangunan Millenium (MDGs).
”Semacam stimulus hijau, untuk menghadapi ancaman ganda perubahan iklim dan krisis keuangan global,” kata Emil Salim.
”Stimulus hijau bisa memperkuat ekonomi, sekaligus menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, melindungi masyarakat rentan, dan mengurangi emisi gas-gas rumah kaca,” ujarnya.
”Adaptasi”
Menurut laporan itu, negara-negara di kawasan Asia Tenggara harus segera melakukan adaptasi perubahan iklim, membangun ketahanan, dan meminimalisasi biaya akibat dampak emisi gas-gas rumah kaca yang telah terkunci ke dalam sistem iklim. Adaptasi penting untuk mencapai target-target MDGs, khususnya penghapusan kemiskinan.
Dana untuk program adaptasi pertanian dan wilayah pesisir diperkirakan mencapai nilai lima miliar dollar AS atau sekitar Rp 52,5 triliun per tahun sampai tahun 2020.
Investasi tersebut, menurut Emil Salim, akan membuahkan keuntungan dalam jangka panjang.
Namun, seperti dikemukakan pengamat masalah ekologi lingkungan, Hendro Sangkoyo, dalam berbagai forum, proses adaptasi seharusnya merupakan pembaruan bermakna di dalam modalitas pengaturan struktur dan mekanisme di seluruh sektor kehidupan, tak hanya pertanian, dengan penerapan ekonomi ekologis dan ecological footprint.
Dalam konteks itu, common but differentiated responsibility harus dimaknai sebagai keadilan dengan sanksi hukum yang tegas pada industri perusak lingkungan sampai di tingkat daerah, dan mengangkat penghidupan di sektor pertanian, pertama-tama dengan menghapuskan akar kemiskinan petani.
Sektor kehutanan
Laporan ADB menyebutkan, penyumbang terbesar emisi gas-gas rumah kaca di Asia Tenggara adalah Indonesia, sebesar 59 persen.
”Hasil estimasi terakhir total emisi Indonesia sekitar 670 juta ton. Kontribusi dari sektor kehutanan sekitar 220 juta ton kalau tak termasuk kebakaran hutan gambut,” ujar pakar agroklimatologi, Rizaldi Boer.
Yang menjadi persoalan adalah konversi hutan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit.
Saat ini, Litbang Departemen Pertanian sedang melakukan penelitian pada 20 juta hektar hutan, termasuk hutan gambut, sekitar 10 persennya akan dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit.
”Kalau di hutan gambut, persyaratan izinnya akan sangat ketat,” ujar Rizaldi. Di antaranya, hanya dilakukan di wilayah hutan gambut yang dalamnya kurang dari 3 meter dan larangan menggunakan api saat pembukaan lahan. Namun, pertanyaan siapa yang akan mengawasi di lapangan tidak terjawab.
Direktur World Wild Fund (WWF)-Indonesia Mubariq Ahmad mengatakan, saat ini di Kalimantan ada 4,5 juta hektar hutan yang dialokasikan untuk perkebunan sawit, pohonnya sudah ditebangi, tetapi kemudian tidak ditanami sawit.
”Kalau butuh lahan perkebunan kelapa sawit, tak perlu membabat hutan lagi,” ujarnya.
”Itu argumen kami ketika ada rencana pembukaan dua juta hektar hutan di perbatasan Kalimantan untuk perkebunan sawit,” ungkapnya.
Menurut penelitian Perkumpulan Sawit Watch (2006), selama 25 tahun terakhir tidak kurang dari 18 juta hektar hutan dibabat untuk perkebunan sawit, tetapi hanya 6 juta hektar yang ditanami.
Dari kayunya saja dapat mendatangkan keuntungan sebesar 2.100 dollar AS per hektar.
Ironisnya, seperti dipaparkan Titi Soentoro, Koordinator Advokasi Jaringan Forum NGO tentang ADB, beberapa proyek bantuan ADB di Indonesia justru mendukung ekspansi perkebunan sawit. (Maria Hartiningsih)
Sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com
Photo : watersecretsblog.com/