DRI IPB

Industri Bahari Berbasis Pengetahuan

Warta IPTEK

Industri Bahari Berbasis Pengetahuan

Setidaknya ada tiga argumen kuat mengapa kebaharian seharusnya memperoleh prioritas yang layak untuk dijadikan arus utama dalam pembangunan Indonesia. Pertama, fakta menunjukkan bahwa tiga perempat wilayah Indonesia berupa laut (5,8juta km2). Kedua, Indonesia memiliki sekitar 18.108 5ulau dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia (81.000 km), setelah Kanada.

Ketiga, berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, Indonesia diberi hak dan kewenangan memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2   yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi, dan pengelolaan sumber daya hayati dan nonhayati, penelitian dan yurisdiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan (Dahuri, dkk 1996). Di dalam laut tersebut terdapat sumber daya hayati sebesar 6,1 juta ton/tahun.

Berdasarkan data tersebut, sangatlah layak kalau Indonesia berharap sangat besar pada industri kebaharian ini.

Potret industri kebaharian

Pilar-pilar industri kebaharian yang pada awalnya diyakini dan diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa yang potensial, nampaknya belum berfungsi seperti diharapkan. Industri bahari yang sejak awal 2000-an kelihatannya mempunyai prospek cerah dan dapat cepat neningkat justru banyak berguguran diterpa krisis. Gugus-gugus industri bahari yang terdiri dari industri pelayaran, perikanan, pariwisata, serta mineral dan gas bumi, hanya beberapa yang mampu bertahan melawan krisis berkepanjangan.

Situasi industri pelayaran, misalnya, belum banyak berubah sejak 2001. Sekalipun Instruksi Presiden tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional untuk menggerakkan jasa angkutan pelayaran antartitik di dalam negeri harus dilaksanakan armada nasional telah dikeluarkan pada 2005, tapi pada kenyataannya asas cabotage itu belum sepenuhnya berhasil. Bahkan, sekalipun Indonesia telah memiliki cukup galangan kapal yang diklasifikasikan sebagai galangan modern oleh dunia internasional.

Industri perikanan setali tiga uang. Luasnya perairan Indonesia belum dimanfaatkan sebagai aset nasional yang berkontribusi besar terhadap pendapatan nasional, melainkan lebih diramaikan dengan pemberitaan illegal fishing yang masih merebak. Di satu sisi, kasus-kasus illegal fishing ini memperlihatkan kelemahan sektor peralatan dan pengamanan laut kita, tapi di sisi lainnya makin memperlihatkan, betapa berlimpahnya sumber daya perikanan kita di laut.

Di bidang potensi pariwisata, tidak ada yang pernah meragukannya. Sektor pariwisata dapat menjadi salah satu pilihan yang dapat dengan cepat dan tepat dikelola untuk mengatasi krisis karena mampu menghasilkan devisa yang besar. Masalahnya, industri pariwisata, menurut Manuel Castle (2001), dapat diklasifikasikan sebagai industri informasional. Produktivitas dan daya saingnya tergantung pada kemampuan memproduksi, memproses, dan menerapkan pengetahuan berbasis informasi. Negara-negara ASEAN yang telah mempraktikkan basis pengetahuan informasi untuk memajukan industri pariwisata ini adalah Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Jika melihat potret pertumbuhan industri kelautan tersebut, nampaknya dibutuhkan semangat/ daya dorong yang dapat lebih memberdayakan sektor kelautan menjadi industri kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ekonomi berbasis pengetahuan

Sejak Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan dibentuk pada awal 2000-an, banyak riset telah dikembangkan untuk mendukung industri kelautan. Sejak saat itu makin disadari betapa perlunya mengembangkan industri kelautan berbasis pengetahuan.

Pertumbuhan ekonomi berbasis pengetahuan adalah suatu upaya meningkatkan daya saing, produktivitas, dan pertumbuhan dengan memanfaatkan riset, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertumbuhan ekonomi berbasis pengetahuan setidaknya memiliki empat pilar penopang. Pertama, sistem pendidikan yang memungkinkan masyarakat memanfaatkan riset dan ilmu pengetahuan secara luas. Kedua, sistem inovasi yang memungkinkan periset/ peneliti bertemu dengan pebisnis mengembangkan hasil-hasil risetnya da-am bentuk komersial. Ketiga, sistem informasi nirkabel yang maju memungkinkan banyak pihak dapat mengakses informasi dan mengembangkannya. Dan keempat, adanya kerangka kelembagaan dan ekonomi yang menjamin kemantapan makroekonomi, persaingan, dan lingkungan.

Belajar dari negara lain

Beberapa negara yang telah menerapkan ekonomi berbasis pengetahuan untuk mengembangkan usaha kebahariannya, misalnya, Korea, Kanada, Norwegia, dan Singapura. Yang sangat penting untuk ditandai dalam implementasi itu adalah penetapan, penjabaran, dan konsistensi menjaga visi. Dari visi itulah diturunkan masterplan of action-nya. Hampir semua negara yang maju di bidang kelautan itu menempatkan knowledge based menjadi kata kunci dalam visi tersebut. Keteguhan melaksanakan visi itulah yang mengantarkan negara-negara tersebut dapat merancang perkembangan dan penguasaan teknologi dan industri kelautan dengan hasil yang mengagumkan.

Korea, misalnya, mencanangkan Ocean Korea 21. Program itu pada dasarnya mendorong masyarakat untuk kesehatan dan produktivitas masyarakat melalui pengembangan kelautan untuk mengantarkan Korea menjadi negara yang kuat di bidang kelautan (leading sea power) pada abad ke-21. Isi dari visi pembangunan kelautan Korea adalah menjaga batas perairan, mengembangkan knowledge based marine industry untuk pembangunan sumber daya kelautan yang berkelanjutan (enhancement of national sea power through the blue revolution).

Lain lagi Kanada. Kanada membangun salah satu sektor kelautannya, yaitu industri perkapalannya dengan suatu program Canada’s Innovation Strategy. Yang dituju pemerintah Kanada adalah menjadi salah satu negara industri kelautan yang paling inovatif di dunia. Sementara itu, seperti diurai dalam Transformation of the Singapore Marine Industry to World Class Status (2002), Singapura lebih mengarahkan diri menjadi nega-a yang pa­ling maju di bidang galangan kapal dan perusahaan pendukung industri perkapalan. Pada dekade mendatang, Singapura akan melakukan investasi bidang sumber daya manusia dan membangun fasilitas mutakhir sehingga menjadi negara indus­tri dengan tingkat kompe-tisi yang lebih tinggi.

Dalam kaitannya dengan pembangunan kelautan di Norwegia, Menteri Perdagangan dan Industri Norwegia Helle Hammer pernah menyampaikan dalam makalahnya yang berjudul Perspectives on the Norwegian Marine Industries, “…We need to strengthen our knowledge based technology level, in order to maintain a leading position in the future and global marine industries. We believe that innovation is the key factor to meet these demands “. Yang dimaksudkan adalah Norwegia membangun industri bahari yang efisien untuk menjadi negara yang mampu bersaing di tingkat dunia dengan penerapan knowledge based economy.

Pengalaman dari negara-negara tersebut memperlihatkan bagaimana riset, ilmu pengetahuan, dan teknologi berhasil dikembangkan untuk mendukung daya saing negaranya. Sepertinya masih dibutuhkan politik negara yang lebih kuat dan konsisten untuk membangun industri kelautan agar dapat berperan sebagai daya dorong pembangunan ekonomi bangsa. Perlu pula dipelajari dari negara-negara yang telah mem-praktikkan ekonomi berbasis pengetahuan dalam mengembangkan industri kelautan. Apa saja yang membuat negara tersebut berhasil menerapkan pembangunan industri kelautannya dengan cepat dan terukur. Riset, ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai potensi kuat untuk menjadi daya dukungnya, tetapi kecuali itu diperlukan sinergi kekuatan semua pihak nampaknya. Semoga.

Y Subagyo
Peminat Sains dan Teknologi

Sumber : Media Indonesia