DRI IPB

Agresivitas Seseorang Bisa Dideteksi dari Keringatnya Saat Bayi

Warta IPTEK

Agresivitas Seseorang Bisa Dideteksi dari Keringatnya Saat Bayi

Sumber : Rahma Lillahi Sativa – detikHealth

Foto: Ilustrasi/Thinkstock

Jakarta, Sama halnya dengan orang dewasa, bayi dan anak-anak juga akan memperlihatkan gejala panik, cemas atau berkeringat saat berada dalam situasi yang menakutkan. Tapi sebuah studi baru mengemukakan bahwa anak yang sedikit berkeringat ketika ketakutan akan menunjukkan lebih banyak agresivitas fisik dan verbal ketika usianya menginjak tiga tahun.

Peneliti Stephanie van Goozen dan rekan-rekannya dari School of Psychology, Cardiff University, Inggris ingin mengetahui apakah kaitan antara rendahnya skin conductance activity (SCA) yang menunjukkan banyak sedikitnya keringat yang dihasilkan seseorang dalam situasi-situasi tertentu dan perilaku agresif sudah bisa terdeteksi sejak dini.

Awalnya tim peneliti menduga bahwa anak agresif mungkin takkan memperlihatkan respons emosional terhadap situasi yang menakutkan sekuat anak yang tak begitu agresif. Dengan kata lain karena memiliki respons ketakutan yang lebih lemah, anak agresif cenderung lebih sering memperlihatkan perilaku antisosial.

Untuk memastikannya, peneliti memasangkan elektroda perekam pada kaki sejumlah bayi pada usia satu tahun serta mengukur SCA mereka saat merespons suara-suara bising ketika tengah tertidur, juga setelah dihadapkan dengan robot yang dikendalikan dengan remote control dan tampak menyeramkan.

Peneliti juga mengumpulkan data tentang perilaku agresif partisipan ketika menginjak usia tiga tahun yang dilaporkan langsung oleh sang ibu.

Hasilnya, bayi berusia satu tahun dengan SCA yang lebih rendah saat beristirahat (tidur) dan ketika menghadapi robot terlihat menjadi lebih agresif, baik secara fisik maupun verbal saat usia mereka telah menginjak tiga tahun.

Menariknya, SCA merupakan satu-satunya faktor yang diketahui dapat memprediksi kecenderungan agresivitas pada anak. Indikator lain yang datanya dikumpulkan oleh peneliti saat partisipan masih bayi seperti laporan ibu terkait temperamen sang bayi justru tidak memprediksi adanya kecenderungan agresivitas si anak dua tahun kemudian.

“Temuan ini bertentangan dengan apa yang selama ini diduga oleh para pakar psikologi perkembangan yang mengatakan bahwa ibu merupakan sumber informasi terbaik terkait anaknya,” catat van Goozen seperti dilansir Health24, Kamis (25/4/2013).

Pada waktu yang bersamaan, studi ini memberikan implikasi penting untuk mengembangkan strategi intervensi dalam mencegah perilaku agresif pada anak.

“Dengan begitu ada kemungkinan kita dapat mengidentifikasi anak-anak yang berisiko memiliki perilaku agresif jauh sebelum perilaku problematis itu sendiri bisa diamati. Mengidentifikasi prekursor gangguan perilaku ini juga dapat memberikan informasi untuk mengembangkan program pencegahan yang efektif dan pada akhirnya mengurangi biaya ekonomi dan psikologis dari perilaku antisosial terhadap masyarakat,” simpul van Gooze.

Studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Psychological Science.
(vit/vit)