DRI IPB

Dr. Hefni Effendi memenangkan lomba Karya Tulis Lingkungan KLH 2010

lppm
Kegiatan

Dr. Hefni Effendi memenangkan lomba Karya Tulis Lingkungan KLH 2010

lppm

 

Dr. Hefni Effendi memenangkan lomba Karya Tulis Lingkungan  KLH 2010

 

Pada tahun 2010 ini dalam rangka hari lingkungan hidup, Kementerian Lingkunan Hidup (KLH) menyelenggarakan Lomba Penulisan Ilmiah Lingkungan dengan tema “Development for life” (Menuju Pembangunan Berkelanjutan).  Jumlah Artikel yang dinilai sekitar 600 buah judul. 

 

Dr. Hefni Effendi dari IPB dengan artkelnya berjudul  “Mainstream Analisis Risiko Lingkungan” dinyatakan sebagai salah satu pemenang untuk kategori akademisi.

 

 


Pemenang Bulan April untuk kategori akademisi pada Lomba Penulisan Artikel Lingkungan bertema Development for life diselenggarakan oleh KLH (2010) diikuti sekitar 600 buah artikel.

 

 

Mainstream Analisis Risiko Lingkungan

Oleh : Hefni Effendi (Sekretaris Eksekutif PPLH-IPB)

Tanggal : Senin, 19 April 2010

BASIS hukum penerapan analisis risiko lingkungan telah diformulasikan dalam UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

Pasal 14 mencantumkan instrumen pengelolaan lingkungan mencakup: KLHS (kajian lingkungan hidup strategis), tata ruang, baku mutu lingkungan, kriteria baku kerusakan lingkungan, Amdal, UKL-UPL, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan, perundangan berbasis lingkungan, anggaran berbasis lingkungan, analisis risiko lingkungan, audit lingkungan, dan instrumen lainnya. 

Occupational Health and Safety

Manakala kita berkunjung ke suatu gedung atau industri yang dikelola oleh perusahaan multinasional, pertama kali akan disuguhi dengan safety moment yang berisi penjelasan singkat tentang bagaimana berperilaku jika terjadi suatu bencana, seperti:  sirene dengan tanda dan bunyi yang berbeda untuk setiap jenis bencana, pintu darurat, jalur evakuasi, muster point (tempat berkumpul), langkah penyelamatan selanjutnya, dsb. 

Pekerja di perusahaan asing biasanya dilengkapi berbagai macam sertifikat terkait pengelolaan risiko seperti: sea survival, helicopter survival, jungle survival, job safety analysis (JSA), medical check up, malaria kit, fire survival, first aid training, dsb sesuai dengan lokasi pekerjaan. 

Tidak ada bangunan di negara maju yang tak bisa diakses oleh pemadam kebakaran.  Bahkan disediakan tempat parkir khusus yang selalu dikosongkan, restricted zone bagi kendaraan lain. Dari posisi tersebut mobil pemadam dapat menyemprot pada sebagian besar penjuru bangunan, jika ada kebakaran.  Bangunan yang sambung menyambung, sangat tidak aman ketika kebakaran, karena titik api tak terjangkau oleh mobil pemadam !

Hal-hal demikian kiranya masih jarang diterapkan di gedung pemerintah atau perusahaan swasta nasional.  Padahal ini merupakan upaya meminimalisir risiko, ketika terjadi bencana. 

Langkah ini merupakan aplikasi secara sinergi occupational health and safety dan kajian risiko, yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh divisi K3LL (Kesehatan dan Keselamatan Kerja serta Lindungan lingkungan).

Natural dan Man-Made Disaster

Luluh lantaknya tanggul Situ Gintung (27 Maret 09) yang merenggut ratusan nyawa manusia di pagi hari, menyentakkan kita semua!  Ternyata bencana tidak semata muncul dari murka alam, juga  bisa akibat kelalaian/kecerobohan manusia atau kegagalan teknologi. 

Sebutlah radius sekitar 100 m dari Situ Gintung ini, yang oleh Belanda diperuntukan bagi ruang terbuka hijau, ternyata sekarang persis dibawah tanggul berdiri rumah penduduk.  Bahkan ada kompleks perumahan pula di sekitarnya ! Kemungkinan risiko jebolnya tanggul barangkali tak diantisipasi dengan seksama.

Disinilah urgensinya penerapan konsep Analisis Risiko Lingkungan (Environmental Risk Assessment) yang mengkaji tidak hanya dampak (risiko) kegiatan terhadap lingkungan, tapi juga menelaah dampak dari suatu bencana atau fenomena alam terhadap keberlanjutan dari suatu kegiatan atau kehidupan.

Bencana alam seperti: tsunami, gempa, gunung meletus, munsoon, gelombang tinggi, badai, gerakan tanah (landslide) dan anomali alam lainnya bersifat given, manusia tak bisa berbuat banyak, hanya  take it for granted (terima apa adanya).  Upaya yang dapat dilakukan sebatas mengantisipasi atau merespon. 

Sebaliknya bencana akibat ulah manusia (technological or man-made disaster) seperti: kegagalan teknologi, polusi, wabah penyakit, dsb, dapat dihindari, diminimalisasi atau ditanggulangi.  Bahkan dapat diprediksi: jenis, frekuensi, lokasi, kekuatan merusaknya (severity), penyebaran, dan durasi melalui suatu pemodelan atau simulasi.

Ketika awal tahun 2000-an di Eropah mewabah penyakit sapi gila (mad cow), serta merta produk olahan daging sapi menghilang di pasaran.  Masyarakat Eropah demikian phobianya akan dampak dari penyakit sapi gila, walaupun akibatnya sub lethal berjangka panjang (kronik) bagi orang yang mengkonsumsi daging sapi gila tersebut. 

Tatkala wabah sapi gila ini dianggap sudah mereda, pemerintah negara-negara Uni Eropah begitu hati-hati mengintroduksi kembali daging sapi tersebut dengan mewajibkan daging yang dijual mencantumkan CV-nya (lahir, besar, pakan, dan disembelih dimana ?

Tingkat Bahaya, Kerentanan, dan Resiliensi

Besarnya akibat bencana alam (disaster) terhadap manusia dan lingkungannya merupakan resultante dari tingkat bahaya (hazards), kerentanan (vulnerability), dan performa ketahanan wilayah (resilience). 

Secara runut kajian Analisis Risiko Lingkungan mencakup Problem Formulation (formulasi masalah), Hazard Identification (identifikasi bahaya),  Release Assessment (penilaian dan kuantifikasi emisi, effluen, kebocoran/leakage),  Exposure Assessment (penilaian dosis dan waktu paparan), Consequence Assessment (penilaian konsekuensi atau akibat), dan Risk Estimation (prediksi sebaran bahaya dengan pemodelan), hingga akhirnya dapat diformulasikan manajemen risiko dan mitigasi.

Penentuan intensitas bahaya, pengurangan tingkat kerentanan, dan peningkatan katahanan harus ditempuh dalam rangka mereduksi tingkat risiko yang akan muncul.  Kerentanan dari suatu wilayah dan manusia yang menghuninya terhadap suatu bencana dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kepadatan penduduk, kepadatan dan struktur bangunan, prasarana-sarana, utilitas, kelembagaan, aktivitas sosial-ekonomi, dsb.

Luaran Kajian Risiko

Di dalam analisis risiko lingkungan diperinci: (1)  Tipologi, sifat  bawaan (inherent) berupa toksisitas, dan besaran (magnitude) bahaya (alamiah dan antropogenik) yang akan timbul di suatu wilayah.  (2) Karateristik kerentanan fisik (kepadatan, konstruksi, bahan bangunan); kerentanan sosial-ekonomi (kepadatan penduduk, struktur umur, disparitas sosial, tingkat kemiskinan, kelembagaan). (3) Karakteristik ketahanan wilayah menurut kelengkapan prasarana (fasilitas kesehatan, pemadam kebakaran, tempat evakuasi); kecukupan sarana dan utilitas (sistem peringatan dini, sarana telekomunikasi, sarana evakuasi); ketersediaan sumberdaya manusia terlatih (tenaga medis-paramedis, polisi, hansip, militer, relawan). (4) Tata ruang berwawasan keamanan terhadap bencana dan konsistensi implementasinya (Modifikasi Oetomo, 2007).

Salah satu luaran dari kajian analisis risiko lingkungan berupa peta risiko wilayah bencana dan upaya mitigasi.  Secara simplifikasi mitigasi bencana dimaknai sebagai suatu program aksi yang mengurangi atau menegasikan risiko jangka pendek dan panjang bahaya bencana alam dan bencana akibat ulah manusia (antropogenik) terhadap manusia, harta benda, dan lingkungan.

Mitigasi berperan dalam meminimalisasi dan mengantisipasi kemungkinan munculnya bahaya, menurunkan tingkat kerentanan (fisik, sosial, ekonomi), dan meningkatkan ketahanan wilayah.

Langkah selanjutnya adalah membentuk konsep penanggulangan bencana (disaster management) yakni suatu proses terpadu, dinamik, dan berkelanjutan, untuk meningkatkan kualitas tahapan, terkait dengan pananganan suatu bencana yang meliputi: pencegahan, peringatan dini, mitigasi, kesiapsiagaan (preparedness), tanggap darurat (emergency response), evakuasi, rehabilitasi atau pembangunan kembali. 

Protektif, Adaptif, dan Retreat

Contoh strategi mitigasi bencana di wilayah pesisir bisa berupa: Protektif: membuat bangunan pantai (breakwaters, river gates, sea wall, sea dikes) dan sabuk hijau  yang secara langsung dapat meredam tsunami dan gelombang tinggi. Adaptif: menyesuaikan pemanfaatan pesisir dengan mengikuti perubahan alam (seperti rumah panggung, saluran air). Retreat: tidak melawan proses dinamika alam, melainkan mengalah dengan mengikuti ritme alam, seperti upaya menjauhkan pemukiman dari tepi pantai.

Bencana tsunami, gempa, serta bencana alam lainnya menjadi penstimulus perlunya pengarus-utamaan (mainstream) dan penjabaran analisis risiko lingkungan menjadi lebih teknis aplikatif;  sebagai  uraian lanjut dari UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Mitigasi Bencana, serta UU No 32 tahun 2009.(*)