Fortifikasi Ekonomi Nasional
Fortifikasi Ekonomi Nasional
Fortifikasi Ekonomi Nasional |
---|
Kusmayanto Kadiman
Menteri Negara Riset dan Teknologi Wahai sekalian manusia. Makanlah apa-apa yang diatas muka bumi yang halal lagi baik dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan merupakan musuh yang nyata bagimu. (al-Baqarah: 168). Ayat Alquran di atas yang menjadi pegangan kuat bagi umat Islam bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di seluruh jagad ini. Kata halal yang dibentuk oleh tiga huruf dalam bahasa Arab, yaitu ha, lam, dan lam itu bukan sekadar memiliki arti boleh, melainkan merupakan sebuah nilai luhur Islami, yaitu sepenuhnya patuh pada perintah Sang Maha kuasa. Halal adalah sebuah konsep yang merupakan fusi sempurna dari standar dan tradisi umat Islam. Khusus untuk pasar Tanah Air, Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah institusi satu-satunya yang disepakati dalam pemberian label halal pada produk yang beredar di pasar domestik maupun ekspor. Dalam pemberian label halal ini berbagai prosedur, metode, dan ukuran standar digunakan sebagai upaya memberikan jaminan dan perlindungan pada umat. Standar dalam kosakata bahasa Indonesia sering dipakai untuk menyatakan sebagai penopang atau patokan. Standar yang digunakan dalam artikel ini adalah patokan, yaitu suatu ukuran yang dipercaya untuk digunakan sebagai pembanding. Standar menjadi isu sentral manakala produksi massal dijadikan cita yang ingin digapai. Keseragaman produk dan jasa hanya bisa dihasilkan jika dalam menghasilkan produk dan jasa tersebut telah secara konsensus, disepakati antara produsen dan konsumen akan standar yang dipakai. Ketika globalisasi sudah menjadi semangat yang disepakati, di mana tembok-tembok batas sudah tidak lagi dibolehkan demi lancarnya arus impor dan ekspor barang, standar semakin menjadi penting artinya. Peran International Standard Organisation (ISO) semakin besar. Standar yang bersifat nasional, seperti SNI untuk Indonesia, DIN untuk Jerman, dan JIS untuk Jepang, banyak melakukan penyesuaian terhadap ISO. Ini sejalan dengan kesepakatan dalam kelancaran arus barang dalam era globalisasi dan dalam payung kesepakatan global World Trade Organisation (WTO). Industrialisasi dan begitu juga dengan perdagangan global akan menemui jalan buntu tanpa keberhasilan konsensus standar. Badan Standarisasi Nasional (BSN) yang menjadi fasilitator dalam penetapan SNI dibentuk oleh pemerintah, sebagai penjaga gawang dalam implementasi kebijakan industri dan perdagangan dalam dan luar negeri. Standar yang dejure dan de facto Harmonisasi globalisasi Tradisi Berita yang menggembirakan adalah bagaimana tradisi mengenakan batik dan mengonsumsi jamu, telah menjadi tren gaya hidup masyarakat Indonesia. Ini adalah contoh bagaimana tradisi telah menumbuhkan gairah kreatif anak negeri, dalam menghasilkan karya berupa produk dan jasa yang bukan hanya memperkuat citra Indonesia, tetapi juga memperkuat ekonomi nasional. Batik yang selama ini dikenal tradisional, telah pula melalui sentuhan inovasi teknologi menjadi tren modernitas. Pola batik klasik yang dahulu hanya bisa diciptakan melalui pekerjaan seni yang rumit, kini telah diproduksi massal menggunakan teknologi komputer yang kemudian dipopulerkan sebagai batik fraktal. Begitu pula, dengan jamu yang merupakan kekayaan turun-temurun rakyat Indonesia, telah bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan produk-produk modern dengan nama obat hebral (herbal medicine), yang bernuansa barat. Inovasi teknologi menjadi faktor penentu mulai dari pemilihan bahan baku berkualitas, cara pembuatan yang memenuhi standar dan kemasan trendi. Statistik menunjukkan tren menaik secara berkelanjutan atas pangsa pasar jamu dalam perdagangan obat dalam negeri, baik untuk tindakan pencegahan maupun penyembuhan dari sakit. Sukses jamu dalam sektor kesehatan telah juga diikuti dengan tradisi kosmetik tradisional berbasis bahan nabati atau herbal. Geliat gerai makanan cepat saji dari barat dan dari timur yang sempat menjadi fatamorgana dalam keekonomian Indonesia, tidak sukses bertahan secara murni, mengingat berbedanya selera lidah Indonesia walaupun berbagai penyesuaian telah coba dilakukan. Banyak pelajaran dipetik dan telah memberi pelajaran dan menjadi peluang kewirausahaan dalam sektor kuliner khas Indonesia. Kewajiban walau banyak yang tidak tertulis dalam menggunakan batik dan menyajikan makanan tradisional alias lokal, jelas merupakan bagian dari fortifikasi ekonomi nasional. Mari kita jadikan tradisi, standar, dan label halal sebagai kiat kita mandiri. Mandiri bukan dalam artian mengisolasi dari dunia internasional, melainkan menuju terciptanya kesalingtergantungan. Indonesia bisa! Sumber : Harian Republika, / humasristek)
|