S-2 Dituntut Tak Cuma Text Book
S-2 Dituntut Tak Cuma Text Book
SECARAumum kualitas lulusan pascasarjana di Indonesia masih bersifat “ritel agung”.Maksudnya masih sebagai pengecer teori dari luar yang sangat kurang diperkaya dengan latihan atau verifikasi secara ilmiah untuk membuktikan kebenarannya.Hal ini diungkapkan pengamat pendidikan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Makmur Sukarno,kemarin.Menurut dia, para lulusan pascasarjana yang ada memiliki cara pandang yang jauh dari realitas yang ada. “Lulusan kita (pascasarjana) masih terkungkung pada sekadar text book. Dan sejauh ini teori teks tadi tidak terlalu diverifikasi para mahasiswanya sehingga menjadi sebuah realitas yang terasing,’’ sebut Makmur kepada Seputar Indonesia. Mahasiswa strata dua (S-2) biasanya harus menyelesaikan tesis dengan melakukan riset yang benarbenar untuk membuktikan kebenaran teori-teori yang rata-rata dari luar negeri.‘’Temanya bolehlah masalah Indonesia, masalah nasionalisme, tapi hendaknya teori-teori yang ada harus mendapatkan pembuktian di Tanah Air sehingga kita benar-benar hidup dalam sebuah realitas yang nyata,”tuturnya. Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Dikti Depdiknas) sebenarnya telah memiliki program-program penelitian yang baik. Namun, memang pembuktian tetap harus ada dengan melakukan penelitian yang nyata bukan hanya pada teks. ‘’Depdiknas memang telah punya berbagai sistem akreditasi yang memberikan wewenang sebuah perguruan tinggi untuk menyelenggarakan program pascasarjana. Namun, masalah kualitas bukan hanya melulu masalah otoritas. Lebih dari itu,”ujarnya. Setidaknya kualitas yang masih belum optimal terhadap lulusan pascasarjana di Indonesia juga diakui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal. Dalam sebuah wawancara, Fasli Jalal mengungkapkan mutu lulusan pascasarjana dari perguruan tinggi (PT) di Indonesia masih lemah. Termasuk, kompetensi yang dimiliki lulusan S-2 maupun S-3 dari PT di Indonesia juga masih sangat kurang. “Karena itu tidak jarang departemen atau lembaga dan perusahaan yang menerima lulusan pascasarjana di Indonesia banyak yang mengeluhkan kualitas dan kemampuannya yang masih lemah,” kata Fasli Jalal. Jadi,katanya,ke depan kualitas pendidikan pascasarjana memang harus lebih baik lagi dalam segi moralitas lulusannya dan juga komitmen terhadap masyarakat harus ditingkatkan.Selain itu,kelulusan tidak hanya ditentukan dosennya, juga oleh penguji dari luar (external examiner). “Saat ini untuk bisa mendapatkan gelar S-2 maupun S-3 di Indonesia jauh lebih mudah karena tingkat kompetensinya masih kurang. Sehingga hal ini berdampak terhadap mutu lulusannya. Karenanya ke depan pendidikan berbasis kompetensi harus lebih dioptimalkan,” katanya. Untuk peningkatan mutu lulusanpascasarjana, saatiniMenteriPendidikan Nasional (Mendiknas) telah meminta kepada semua PT agar program S-2 dan S-3 ada penguji dari luar, apa pun akreditasi dari PT tersebut.“Semuanya ini dimaksudkan agar bisa meningkatkan mutu lulusan pascasarjana. Untuk itu, kami akan merapikan kembali mutu kompetensinya,di antaranya dengan masukan dari penguji asal luar untuk menentukan kelulusan mahasiswa,”jelasnya. Sementara itu,data dari Direktur Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Departemen Pendidikan Nasional Prof Dr Muklas Samani pada 2008 lalu mengatakan, separuh dari dosen tetap perguruan tinggi di Indonesia belum memiliki pendidikan S-2, yang menjadi syarat minimal bagi seorang dosen untuk bisa mengajar. Berdasarkan data pada 2008, dari 120.000 dosen tetap di Indonesia, 50,65 persen atau sekitar 60.000 di antaranya belum berpendidikan S-2.“Padahal undang-undang kita mensyaratkan dosen perguruan tinggi minimal S-2 untuk mengajar,” kata Muklas, pada sebuah kesempatan. Untuk diketahui, jumlah dosen di seluruh Indonesia tercatat 240.000 dan 120.000 di antaranya dosen tetap. Untuk menuju perguruan tinggi kelas dunia, Muklas menyebutkan, dibutuhkan dosen yang berkualitas pula. “Di sinilah pentingnya sekolah pascasarjana meningkatkan mutunya sehingga menjadi berkelas dunia. Dengan demikian, sarjana S-2 yang dihasilkan juga berkelas dunia, dan akan berpengaruh pada lulusan under graduate (S-1),”jelasnya. Selain itu, perguruan tinggi juga harus berkolaborasi di bidang riset dan program edukasi dengan perguruan tinggi lain di dalam maupun luar negeri dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. “Sekarang ini yang banyak dilakukan adalah kolaborasi dalam riset. Kami tengah mendorong kolaborasi dalam program edukasi,” kata Muklas. Salah satu program yang akan terus dikembangkan adalah “twinning program” atau “double degree” dengan perguruan tinggi asing untuk pendidikan pascasarjana.“ Misalnya Institut Pertanian Bogor (IPB) membuat program pendidikan bersama dengan universitas lain di luar negeri yang peringkatnya berada di atas IPB,”kata dia. Melalui kolaborasi semacam itu,dia mengatakan,lulusan perguruan tinggi di Indonesia juga akan diakuisamadenganperguruantinggi kelas dunia yang menjadi rekanan kerja sama.Beberapa perguruan tinggi di Indonesia sudah melakukan kolaborasi semacam itu. Di antaranya Universitas Sriwijaya dengan perguruan tinggi di Jepang, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dengan ANU di Australia. Dia mengakui, program “twinning” tersebut baru bisa dijalankan untuk pendidikan pascasarjana. “ Untuk under graduate agak berat karena kondisi lulusan SMA kita belum mendukung,’’ paparnya. Sementara Muklas menyebutkan, kolaborasi dengan sesama perguruan tinggi dalam negeri dilakukan dalam bentuk aliansi untuk peningkatan kapasitas, terutama untuk membantu perguruan tinggi yang berada di daerah. (ant/sasongko) Sumber : http://www.seputar-indonesia.com
|