Perubahan di Bulog
Perubahan di Bulog
BANYAK pertanyaan yang muncul saat kita mendengar negeri ini swasembada beras.Terlebih beritaberita seperti ini selalu muncul menjelang pemilu.Benarkah berita ini dapat kita percaya, atau jangan-jangan hanya propaganda politik belaka? Bukankah para kandidat memperebutkan kinerja perberasan dalam iklan-iklan partai politik yang marak belakangan ini? Kalau benar, dari mana logikanya? Data publik yang kita baca, produksi beras nasional mengalami kenaikan cukup memadai. Bila pada 1999 produksi beras 32,15 juta ton,tahun lalu 38,51 juta ton. Rasanya belum lama kita saksikan petani kesulitan pupuk.Tahun lalu,saat harga bahan bakar minyak (BBM) melambung tinggi,harga gas pun ikut melonjak, dan produk turunannya, pupuk,ikut melambung.
Tidak terdengar berita pemerintah membangun infrastruktur pertanian yang memadai.Yang kita dengar hanya kabar mengenai pembangunan sejumlah PLTU, jalan tol, jembatan Suramadu, jalan antarprovinsi, pelabuhan, dan beberapa bandara. Bagaimana produksi pertanian bisa naik kalau infrastrukturnya tidak mendukung? Kita juga tahu pemerintah tidak mencetak lahan-lahan pertanian baru. Yang terlihat di berbagai daerah malah plang-plang kecil tanah yang dijual para petani. Maka wajar kalau para cendekia mencurigai data itu.Apalagi kita baru saja disajikan data DPT yang penuh pertanyaan dan kekeliruan. Tapi kalau data produksi pangan itu tidak benar, rasanya sulit juga kita percayai. International Food for Agricultural Development (IFAD) di Roma, Italia, saja mempercayainya. Februari lalu Direktur Utama Bulog Mustafa Abubakar diundang berbicara dan menceritakan kisah suksesnya pada Pertemuan Ke-32 Forum IFAD,yang dihadiri para pemimpin dunia. Fakta lainnya, harga beras nasional tidak naik dan mulai tahun lalu kita sudah tidak impor beras lagi.Padahal,sejak reformasi bergulir, negeri ini selalu kekurangan beras dan harus impor dalam jumlah besar. Sampai 2007, kita masih impor 1,3 juta ton. Masih dalam ingatan kita, bagaimana impor beras selalu dijadikan alat untuk memperkaya diri sejumlah pejabat Bulog. Sejak zaman almarhum Budiaji sampai Beddu Amang dan Widjanarko Puspoyo, berita Bulog selalu ramai dengan peristiwa korupsi. Yang terakhir selalu berhubungan dengan uang komisi yang diberikan trading companyyang menjual beras ke Indonesia. Logika impor beras banyak dimainkan para pejabat dan dikondisikan para pedagang beras bukanlah hal yang baru bagi kita. Logika serupa sebenarnya juga ada di komoditas-komoditas strategis lain yang dikuasai negara dan diberi banyak subsidi. Ambil saja contoh impor BBM bersubsidi. Aneh sekali,impor BBM kita tinggi sekali justru selagi subsidinya tinggi, namun tiba-tiba impornya anjlok di zaman Pertamina dipimpin Ari Soemarno yang properubahan dan keras memberantas kolusi. Aneh, perusahaan dibenahi, transparansi ditingkatkan, subsidi dihapus, kok impor BBM bisa turun begitu drastis. Logika ini sebenarnya juga bisa dipakai di dunia perberasan. Jangan- jangan masalah beras kita bukan ada di titik produksi,melainkan pada aspek manajemen dan logistik. Kalau kita bisa mendapatkan seorang change maker yang serius melakukan perubahan, niscaya masalah beras akan selesai. Jadi tampaknya ada masalah moral hazard yang dimainkan para pejabat tinggi yang korup, yang akhirnya menyengsarakan petani dan rakyat.Petani tetap hidup miskin, tak bisa menjual pangannya secara memadai karena impor diperbesar dan harga output mereka dibuat semurah mungkin dengan subsidi. Subsidi yang seharusnya dinikmati petani dan rakyat ternyata tidak sampai ke tujuan. Logika ini kemungkinan besar juga ada di balik subsidi obat-obatan generik, pupuk, pendidikan, dan produk lain yang dikorupsi orangorang tak bertanggung jawab. Kuncinya ada di Bulog Sampai di sini kita semua harus jujur bahwa data kenaikan Dalam teori outlier yang dominan belakangan ini, memang kita terpaksa harus berpikir di luar kebiasaan, dan kebenaran baru itu akan tampak kalau kita menemukan the real change maker. Saya sempat kenal Mustafa Abubakar, putra Aceh yang sepanjang hidupnya mengabdi untuk negara.Lulusan IPB ini mungkin sosok yang patut kita jadikan ulasan bagaimana dia memimpin sebuah lembaga, mulai dari persiapan peralihan Provinsi Aceh dalam keadaan damai, sampai ia masuk membenahi Bulog. Dalam dua tahun terakhir, di tangan Mustafa Abubakar, perubahan mulai digulirkan. Saya ingat betul saat dia mengatakan sedang mengurus gajinya yang selama bertahun-tahun tak pernah diusik kepala Bulog terdahulu. Anak buahnya pun heran mengapa gaji yang tak seberapa itu diurus kepala Bulog? Bukankah selama ini cukup banyak income yang bisa didapat direktur utama Bulog di luar gaji? Mustafa bertekad hidup dari yang halal dan ia berjuang pada landasan itu. Pada saat dia masuk,kantornya masih diperiksa KPK menyangkut tuduhan korupsi pimpinan Bulog terdahulu. Laptop anak buahnya disita aparat dan anak buahnya menangis.Kepercayaan pihak luar pupus. Selain itu, semua bawahan praktis berpikir, ini bos baru,mau curi apalagi dari perusahaan? Mereka sudah biasa melihat pemimpin yang tak memberi teladan,jadi biasa kalau sebagian oknum memilih ikut-ikutan cari makan secara tak halal mengikuti pimpinannya. Mustafa Abubakar membuyarkan prasangka negatif tadi. Dengan keteladanan dia menggerakkan perubahan dan memberikan harapan melalui program efisiensi. Akhirnya, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun merugi, dia berhasil memperkecil kerugian dari Rp524 miliar pada 2006 menjadi Rp340 miliar pada 2007.Tahun lalu,Bulog yang dipimpinnya mencapai surplus Rp101 miliar. Saya tentu punya banyak sahabat yang sering mengajak berdiskusi dalam melakukan perubahan. Di Garuda Indonesia ada Emirsyah Satar, di Indonesia Fery ada Bambang Soerjanto, dan tentu saja di Bulog ada Mustafa Abubakar. Pertanyaan selanjutnya,apa sebenarnya yang telah mereka lakukan sehingga perusahaan yang nyaris tanpa masa depan kini bisa kembali sehat? Demikianlah yang saya juga tanyakan pada Bulog. Mustafa terlebih dulu mengubah tradisi, kebiasaan dan sikap mental dari sebuah perusahaan negara yang korup menjadi perusahaan profesional. Sukses itu menuntut perubahan sikap mental yang menyeluruh di semua jajaran. Apalagi di dalam perusahaan yang lama dikenal sebagai salah satu pusat intrik politik dan skandal. Setelah meraih kepercayaan dari jajarannya, ia memperbaiki penghasilan mereka. Dari situ dia lalu mengajak jajarannya kembali bekerja seperti biasa, yaitu menjaga kestabilan harga, pasokan, dan distribusi pangan, khususnya beras.Ketahanan pangan atau food security menjadi isu penting di tengah-tengah isu krisis finansial, krisis energi,dan krisis lingkungan perubahan iklim. Di tengah harapan yang kuat pada pemimpinnya, anak buah kembali bekerja. Uang hasil efisiensi kini bisa dipakai untuk menyerap beras petani secara signifikan. Dengan upaya itu harga beras menjadi stabil.Padahal,ketika itu (1998) harga pangan internasional meroket 2–3 kali lipat dan masyarakat Indonesia sedang kesulitan daya beli menyusul naiknya harga energi. Kalau ini dibiarkan, akan dapat memicu kisruh politik. Tahun itu Bulog berhasil membeli beras petani sebanyak 3,2 juta ton, naik hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya dan membukukan rekor tertinggi penyerapan beras sepanjang sejarahnya,sekaligus menghilangkan kebutuhan impor untuk pertama kalinya selama belasan tahun terakhir.Penyerapan beras petani secara masif itu menuntut manajemen yang profesional dan kerja sama serasi dengan mitra pengadaan. Mustafa menggerakkan manajemen logistiknya pada sekitar 5.000 mitra pengadaan yang memasok beras ke sekitar 1.600 gudang Bulog di berbagai daerah di samping 45.000 titik distribusi yang dipantau dari detik ke detik untuk mendistribusikan beras-untuk-orang-miskin (raskin). Kelanjutan Perubahan Setiap kali kita menyaksikan keberhasilan perubahan dan kekuatan kepemimpinan,kita selalu bertanya bagaimana kelanjutannya? Sukses Bulog menghentikan impor dan memperbesar serapan beras dalam negeri merupakan prestasi tak ternilai.Kepercayaan diri dan martabat bangsa meningkat karena mampu menegakkan ketahanan pangan dan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap negeri lain. Kalau perubahan ini berkelanjutan, kita bahkan mampu menjadi eksportir beras seperti Thailand dan Vietnam. Dengan penyerapan yang lebih besar terhadap produk dalam negeri, Bulog juga ikut berjasa menghidupkan perekonomian petani di pedesaan.Nilai dana yang dibelanjakan Bulog mencapai Rp13,2 triliun, yang semuanya mengucur ke pedesaan.Efek berantai dari pengadaan beras itu bahkan diperkirakan bisa mencapai Rp19,4 triliun. Namun, ke depan tantangan untuk memelihara perubahan berkelanjutan diperkirakan juga tidak mudah karena perubahan iklim global sungguh tak menentu. Lebih dari itu, Indonesia sekarang masih mengimpor gandum dalam jumlah yang makin besar. Banyak pengamat pertanian meramalkan harga pangan, termasuk gandum, akan terus bergejolak di masa mendatang.Tantangan ini hanya bisa diatasi kalau kita semua tetap bersatu, dan siapa pun kepala negaranya, dia tetap mampu berpikir jernih, menjaga badanbadan usaha milik negara tetap berada di tangan orang-orang yang tepat, menjauhkan diri dari perilaku politik korup,dan membebaskan keuangan partainya dari sapi-sapi perah milik negara. Kepada para sahabat perubahan, tetaplah teguh menggerakkan perubahan, meski tantangan itu sangat berat. (*) RHENALD KASALI Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/242297/38/
|