DRI IPB

Periode 2003-2013, Sebanyak 5 Juta Petani Kecil Ganti Profesi

Berita / Warta LPPM

Periode 2003-2013, Sebanyak 5 Juta Petani Kecil Ganti Profesi

Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB University, Dr Ernand Rustiadi menyampaikan bahwa penguasaan lahan pertanian oleh petani gurem di Indonesia berada di bawah rata-rata negara Asia lainnya, yang karakteristik pertaniannya dikuasai oleh small holder farmer.

Hal tersebut ia sampaikan dalam Talkshow Refleksi Akhir Tahun 2021: Quo Vadis Transformasi Agraria Indonesia, (30/12) di Hotel Santika Bogor.

“Di Jepang, penguasaan lahan pertanian oleh petani minimal 2.5 hektar. Demikian juga di Thailand. Sehingga Thailand yang produktif sawahnya hanya di bawah tiga ton per hektar, masih bisa surplus karena penguasaan lahan petaninya 6 hingga 10 kali lipat rata-rata penguasaan lahan petani Indonesia,” jelasnya.

Di Indonesia, lanjutnya, selain lahan pertanian pangannya yang sempit, ada persoalan struktural keagrariaan. Banyak lahan yang sebetulnya sesuai potensinya untuk pangan tetapi tidak ditangani, tidak dikelola dengan baik dan terlantar. Dari sisi pengembangan wilayah, tanah terlantar dan banyak tanah potensial tapi tidak termanfaatkan. Menurutnya ini merupakan bentuk sumberdaya yang tidak tertata.

“Kebijakan pemerintah terkait reforma agraria dan perhutanan sosial ini ternyata belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan,” ucapnya.

berita-periode-2003-2013-sebanyak-5-juta-petani-kecil-ganti-profesi-news

Oleh karenanya, ia mengatakan bahwa Pusat Studi Agraria IPB University punya pekerjaan rumah terkait dengan reforma agraria, khususnya reforma agraria di perkotaan.

Prof Hariadi Kartodihardjo, Pakar Kehutanan IPB University menambahkan bahwa banyaknya  konflik agraria antara kapital besar dengan masyarakat masih menjadi catatan tersendiri. Penguasaan lahan skala besar menunjukkan ekspansi kapital skala besar ke wilayah pedesaan sebagai tempat untuk mencari lahan murah.

“Sehingga menjadi penting untuk mengangkat diskursus keuangan berkelanjutan dalam bisnis sumberdaya alam yang utamanya terkait dengan land based. Aspek keberlanjutan dari ESG (Environmental, Social, and Governance) menjadi penting untuk diketahui oleh para penyandang dana agar lebih bijak dalam memberikan permodalan kepada perusahaan skala besar,” imbuhnya.

Dr Bayu Eka Yulian, Kepala Pusat Studi Agraria IPB University ikut hadir dalam acara ini dan menyampaikan terkait Pelaksanaan Mandat Konstitusi untuk Menjawab Persoalan Ketimpangan Agraria.

“Terkait reforma agraria, pemerintah baru melampaui target dalam hal legalisasi aset. Akan tetapi kaitannya dengan redistribusi aset, baru mencapai sekitar 29,33 persen,” ujarnya.

Menurutnya, banyaknya konflik yang disebabkan reforma agraria hampir merata di seluruh Indonesia. Yang paling besar berasal dari sektor perkebunan.

“Saat ini kecenderungan persawahan di desa mengalami penurunan. Data menunjukan sektor perkebunan paling tinggi. Dari data sensus pertanian tahun 2003- 2013, ada lima juta petani kecil hilang. Para petani tersebut beralih profesi ke sektor informal di luar pertanian dan usaha-usaha industri dan jasa,” imbuhnya. (dh/Zul)