DRI IPB

Membangun Bangsa yang Inovatif

Warta IPTEK

Membangun Bangsa yang Inovatif

 

Laporan terbaru tentang International Innovation Index pada Maret 2009 menyebutkan, Indonesia menempati posisi ke-71 dari 108 negara, jauh tertinggal dibanding negara lain. Bahkan di kawasan ASEAN sekalipun, Indonesia masih tertinggal dari Singapura, yang menduduki peringkat pertama, Malaysia (21), dan Thailand (44). Kondisi ini mengindikasikan inovasi belum menjadi ujung tombak dalam membangun daya saing industri nasional.

Inovasi belum menjadi bagian dari budaya dan agenda utama pembangunan nasional. Karena itu, tidak mengherankan apabila daya saing kita tidak banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan masih bertengger di peringkat ke-54 (GCR 2008-2009), lebih rendah dibanding beberapa negara, seperti Thailand (28), Malaysia (21), dan Singapura (7).

Informasi seperti ini jarang kita dengar di tengah hiruk-pikuk pemilihan anggota legislatif beberapa waktu lalu. Padahal, proses pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden pada 2009 yang melibatkan seluruh komponen masyarakat baik secara fisik maupun emosional, selain merupakan wahana untuk menarik simpati masyarakat, seharusnya juga bisa menjadi momentum proses pembelajaran bagi masyarakat tentang pentingnya perubahan. Bukan hanya dilihat dari aspek politik, tetapi juga perubahan paradigma pembangunan yang tidak lagi hanya mengandalkan keunggulan komparatif, tetapi juga keunggulan kompetitif yang mengandalkan kemampuan dalam berinovasi.

Kalau kita simak parameter yang dipergunakan dalam mengukur innovation index seperti kebijakan fiskal, pendidikan, paten, penelitian dan pengembangan, teknologi transfer, dampak inovasi bagi industri dan pertumbuhan ekonomi, dan lain sebagainya, mengindikasikan keberhasilan pembangunan dan daya saing suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari kemampuannya dalam penguasaan dan pemanfaatan Iptek yang menghasilkan inovasi-inovasi untuk memberikan nilai tambah. Iptek diyakini dapat mendorong berkembangnya industri yang pada gilirannya mampu menyerap tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan.

Indikator Iptek LIPI 2006 mengungkapkan, sebagian besar proses inovasi di sektor produksi belum melibatkan lembaga litbang/perguruan tinggi. Fakta ini seolah mempertegas bahwa industri nasional belum banyak memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang telah dikembangkan di berbagai lembaga riset.

Juga belum ada proses transfer teknologi dari lembaga riset ke industri untuk menghasilkan berbagai inovasi yang mampu memberikan nilai tambah. Banyak manfaat yang di dapat dari kerja sama riset atau transfer teknologi tersebut, Salah satunya aspek pembiayaan. Pemerintah telah mengalokasikan sejumlah dana untuk penelitian dan pengembangan (litbang/ R&D). Artinya, dana litbang tidak ditanggung seluruhnya oleh industri.

Selain itu, bisa menghemat waktu karena kegiatan litbang biasanya, membutuhkan waktu yang cukup lama dan para peneliti telah melakukannya, sehingga industri tidak perlu melakukan penelitian dari awal. Belum lagi ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan terbukanya peluang kerja sama membangun inovasi yang berkelanjutan.

Inovasi Anak Bangsa

Inovasi, sepenggal kata yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita, namun banyak di antara kita yang belum memahami maknanya secara tepat. Inovasi berasal dari kata innovare istilah dalam bahasa Latin yang berarti penggunaan cara atau sarana yang baru untuk menghasilkan nilai yang baru. Indonesia dengan populasi yang mencapai 220 juta lebih dengan keragaman potensi sumber daya alam dan budaya, selain merupakan lahan subur untuk tumbuhnya inovasi, juga merupakan potensi yang sangat besar untuk berbagai produk inovatif.

Kita sering mendengar mitos bahwa inovasi harus datang dari luar. Kita bukanlah bangsa yang mampu melahirkan inovasi. Dengan kata lain, inovasi kita tidak akan mampu bersaing dengan produk asing. Kalau dicermati berbagai inovasi yang dihasilkan anak-anak bangsa, kita dapat mengatakan bahwa mitos tersebut tidak sepenuhnya benar.

Coba simak dari buku 100 Inovasi Indonesia yang diterbitkan Business Innovation Center (BIC) bersama Kementerian Negara Riset dan Teknologi pertengahan Agustus 2008. Banyak inovasi yang siap untuk diaplikasikan di sektor produksi, seperti KWH meter yang mampu mencatat pemakaian listrik secara digital, blok rem komposit kereta api dengan komponen lokal mencapai 90%; proses membuat batik fraktal yang memadukan seni tradisional, ilmu matematika, dan komputer; konstruksi sarang laba-laba (fondasi untuk daerah rawan gempa); dan teknologi manufaktur rubber hose (pipa apung) untuk transportasi fluida.

Di samping itu, kalau kits lihat pameran Teknologi Tepat Guna (TTG), banyak inovasi yang telah dikembangkan dan ada di masyarakat. Seiring dengan upaya antisipasi pelemahan industri nasional sebagai dampak krisis global dengan memperkuat pasar dalam negeri, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) RI No 2/2009 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri dalam Pengadaan Barang dan Jasa dalam Pemerintah. Inpres ini mewajibkan 468 produk lokal yang wajib digunakan di dalam negeri. Di sinilah letak pentingnya sinergi antara aktivitas riset dan sektor produksi agar dapat menghasilkan produk-produk inovatif.

Biaya litbang yang cukup besar dan perkembangan teknologi yang semakin cepat akan lebih efektif dan efisien apabila industri dapat memanfaatkan hasil riset dari lembaga litbang untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam memperkuat industri nasional tersebut.

Sistem Inovasi Nasional (SIN)

Perkembangan teknologi yang begitu cepat dan kompleks, berimplikasi pada pemikiran bahwa kapabilitas inovasi suatu bangsa ditentukan tidak hanya oleh kemampuannya mengembangkan infrastruktur litbang dan penciptaan iklim yang dapat mendorong terciptanya produk baru, tetapi juga ditentukan adanya interaksi berkelanjutan dari setiap pelaku inovasi dalam suatu kerangka Sistem Inovasi Nasional (SIN). Menurut Fagerberg dan Srholec (2007), kemampuan suatu negara mengembangkan sistem inovasi nasional mempunyai keterkaitan dengan tingkat GDP perkapitanya. Semakin tinggi kinerja sistem inovasi nasionalnya, semakin besar GDP per kapitanya. Secara garis besar, SIN terdiri atas beberapa elemen utama seperti sistem pendidikan, litbang, sistem industri, intermediasi dan transfer teknologi, sistem politik dan kepemerintahan, dan framework condition (seperti sistem keuangan, sistem perpajakan, sistem perdagangan dan competition policy).

Ada dua pendekatan dalam membangun dan memperkuat jejaring SIN. Pertama, secara institusional dengan membentuk organisasi/tim SIN yang dipimpin secara langsung oleh presiden/kepala pemerintahan. Beberapa negara telah memiliki organisasi semacam ini, di antaranya Swedia, Norwegia, dan Finlandia. Kedua, secara substansial melalui penguatan elemen-elemen kunci dalam SIN, seperti pengembangan sumber daya manusia, penguatan aktivitas penelitian dan pengembangan, penguatan kapasitas absorpsi teknologi bagi industri, dan penguatan kapasitas intermediasi dan transfer teknologi.

Mengacu kepada UU No 18/2002 tentang Sisnas P3 Iptek dan PP 20/2005 tentang Alih Teknologi dan Kekayaan Intelektual, pemerintah memberikan rambu-rambu dan aturan main yang jelas untuk mendorong terjadinya interaksi antara elemen-elemen dalam SIN, terutama antara penghasil teknologi dan pengguna teknologi (industri).

Akan tetapi, perundang-undangan saja belum cukup mendorong adanya interaksi antarelemen SIN dalam menghasilkan berbagai produk inovatif dari hasil penelitian nasional.

Perlu dukungan dan kesadaran bersama untuk saling bersinergi dalam membangun bangsa ini. Mengingat sistem politik dan kepemerintahan merupakan elemen utama SIN, para caleg yang akan duduk di kursi legislatif dan pimpinan nasional yang terpilih nantinya diharapkan dapat berperan aktif dalam mendorong penguatan SIN.

Dengan demikian, kemampuan mereka saat ini dalam memahami arti inovasi bagi pembangunan bangsa menjadi penting. Keberadaan mereka baik dilegislatif maupun eksekutif diharapkan mampu mendorong terjadinya sinergi di antara unsur ABG agar dapat tercipta lingkungan yang kondusif bagi peningkatan kapabilitas inovasi secara nasional untuk membangun kemandirian bangsa, dan juga menjadikan bangsa yang inovatif.

 
Santosa Yudo Warsono
Asisten Deputi Urusan Difusi dan Diseminasi Iptek
 
Sumber :  Seputar Indonesia,  humasristek)