Kredit Bermasalah, Penyebab dan Dampaknya
Kredit Bermasalah, Penyebab dan Dampaknya
Data terbaru Bank Indonesia (BI) mengungkapkan bahwa kualitas kredit perbankan cenderung mengalami pembusukan. Indikasinya terlihat sangat jelas dari peningkatan kredit macet atau non-performing loan (NPL).
Sampai dengan pertengahan Maret 2009, nominal NPL perbankan sudah mencapai Rp54 triliun, meningkat sebesar Rp12 triliun dari semula Rp42 triliun pada akhir Desember 2008.
Rasio NPL terhadap kredit di hampir semua sektor mengalami peningkatan. Bahkan dua sektor, yaitu manufaktur dan konstruksi, rasio NPL-nya sudah lebih dari 5 persen, batas aman seperti yang dipersyaratkan BI.
Rasio NPL terhadap kredit sektor manufaktur meningkat dari 5,4 persen pada akhir Desember 2008 menjadi 6 persen pada akhir Februari 2009, sedangkan rasio NPL sektor konstruksi meningkat dari 3,1 persen menjadi 5,32 persen.
Apa penyebab dan bagaimana dampak naiknya NPL terhadap perekonomian? Tulisan ini akan mencoba membahas dua isu penting itu.
Akar Permasalahan
Peningkatan NPL merupakan akumulasi dari beberapa permasalahan. Pertama, imbas negatif krisis keuangan global tidak hanya menurunkan aggregate demand, tetapi juga memaksa perusahaan masuk ke iklim persaingan yang semakin ketat.Keadaan ini membuat perusahaan mengalami kesulitan dalam mempertahankan pasar dan memperburuk prospek usaha.
Konsekuensinya, pendapatan perusahaan menurun dan neraca keuangannya mengalami pembusukan. Hal ini kemudian membuat perusahaan mengalami penurunan kemampuan dalam membayar angsuran pinjaman ke perbankan.
Kedua, kebijakan perbankan mempertahankan suku bunga kredit tinggi di tengah-tengah kondisi perekonomian yang tidak stabil juga berkontribusi terhadap naiknya NPL. Tingginya suku bunga kredit pada saat pendapatan dan neraca keuangan perusahaan mengalami penurunan membuat beban angsuran pinjaman perusahaan ke perbankan,secara relatif,mengalami peningkatan.
Ketiga,ketidak-hati-hatian perbankan dalam menyalurkan kreditnya kemungkinan juga mendorong naiknya NPL.Ketika perbankan tetap mempertahankan suku bunga kredit tinggi, secara tidak langsung perbankan sebenarnya bermain dengan kemungkinan meningkatnya risiko kredit bermasalah. Pada saat suku bunga kredit tetap tinggi,maka hanya perusahaan risk taker(pengambil risiko) saja yang akan mengajukan permintaan kredit ke perbankan.
Dalam kaitan ini seharusnya perbankan meningkatkan manajemen kontrol yang lebih ketat dalam menjalankan proses seleksi dan verifikasi calon debitur untuk menilai agunan dan prospek usaha, pencairan kredit, monitoring, dan pengumpulan pengembalian kredit
Keempat, sebagai otoritas moneter, BI juga harus bertanggung jawab terhadap naiknya NPL. Beberapa kebijakan BI untuk merelaksasi proses penyaluran kredit, seperti jenis dan kualitas agunan ataupun penurunan besaran giro wajib minimum (GWM), yang diharapkan mampu meningkatkan peran intermediasi perbankan tampaknya mempunyai efek detrimental terhadap naiknya NPL.
Pelajaran yang bisa diambil dari sini adalah kita memang mengharapkan perbankan bisa berperan secara optimal sebagai lembaga intermediasi permodalan bagi sektor riil. Namun, idealnya, BI juga tidak mendorong perbankan meninggalkan prinsip-prinsip prudential management.
Dampaknya terhadap Perekonomian
Naiknya NPL akan memaksa perbankan memperkuat struktur permodalannya. Untuk keperluan ini, boleh jadi perbankan akan memperbesar porsi penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP). Konsekuensinya adalah pada saat perbankan berupaya memperkuat struktur permodalan, secara otomatis hal ini akan mengurangi kemampuan perbankan melakukan ekspansi kredit (ke sektor riil).
Pengurangan kemampuan perbankan melakukan ekspansi kredit akan berdampak negatif terhadap perekonomian.Argumentasinya, imbas negatif krisis global membuat peran beberapa sumber permodalan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi seperti investasi portofolio di pasar modal, investasi asing langsung (FDI),dan modal sendiri dari sektor swasta mengalami penurunan.
Karena itu, praktis hanya belanja negara dan kredit perbankanlah yang masih bisa diharapkan sebagai sumber modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Catatan statistik menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, kredit perbankan selalu berkontribusi terhadap pembentukan modal minimal sekitar 20 persen-an.Berapakah kredit perbankan idealnya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi 2009?
Nilai nominal PDB 2008 adalah Rp4.954 triliun. Dengan asumsi target pertumbuhan ekonomi 2009 sebesar 4 persen,nilai nominal PDB 2009 diprediksi akan menjadi Rp5.152,2 triliun. Selanjutnya, perhitungan menunjukkan bahwa nilai ICOR (incremental capital output ratio) 2007–2008 adalah 3,8 persen. Berdasarkan nilai ICOR, diperoleh angka bahwa untuk mendukung pertumbuhan PDB sebesar 4 persen dibutuhkan pertumbuhan modal (pembentukan modal tetap bruto-PMBT) sebesar 5,3 persen.
Berarti, untuk mencapai PDB sebesar Rp5.152,2 triliun pada 2009 dibutuhkan modal sekitar Rp1.441,7 triliun.
Dari perhitungan kebutuhan modal,kita berharap bahwa kredit perbankan idealnya menyumbang paling tidak Rp288,3 triliun terhadap pembentukan modal (20 persen dari PMBT).
Dengan posisi penyaluran kredit sampai Desember 2008 mencapai Rp1.308 triliun,untuk bisa menyumbang Rp288,3 triliun, kredit perbankan idealnya tumbuh minimal 22 persen, jauh lebih tinggi dari kesepakan perbankan seperti dinyatakan dalam RBB (rencana bisnis bank) bahwa mereka hanya mampu mendorong pertumbuhan kredit pada 2009 sebesar 15,6 persen.
Dengan naiknya NPL, jangankan tumbuh pada tingkat ideal sebesar 22 persen, untuk mencapai pertumbuhan kredit sebesar 15,6 persen saja perbankan kemungkinan akan mengalami kesulitan untuk merealisasikannya. Ini berarti bahwa upaya menekan NPL harus menjadi concernsemua pihak.Jika tidak,boleh jadi NPL akan menjadi pengganjal tercapainya pertumbuhan ekonomi pada tingkat 4 persen- an.
Apalagi, kenyataan menunjukkan bahwa sektor manufaktur dan konstruksi merupakan dua sektor yang dalam lima tahun terakhir menjadi motor pertumbuhan ekonomi memiliki NPL yang lebih tinggi dibandingkan sektor lain. Tingginya NPL kedua sektor strategis ini akan mengurangi minat perbankan menyalurkan kredit terhadap kedua sektor itu.(*)
Sumber :
Latif Adam
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) LIPI
Sindo, Rabu 22 April 2009