Jebakan Pangan Mengancam Indonesia
Jebakan Pangan Mengancam Indonesia
Jebakan Pangan Mengancam Indonesia

Merajalelanya daging impor merupakan ironi bagi Indonesia yang terhitung sebagai negara agraris. Karena itu, wajar jika para ahli pangan menyebutkan bahwa Indonesia telah masuk ”perangkap pangan” yang ditebar negara maju lewat kapitalisme global. Fakta itu terungkap berdasarkan kenyataan: untuk komoditas remeh-temeh sekalipun, seperti garam, Indonesia harus mengimpornya.
Dalam setahun, setidaknya Indonesia menganggarkan dana Rp 900 milyar untuk mengimpor garam sedikitnya 1,58 juta ton. Padahal, garam sangat mudah diproduksi di dalam negeri dan sumber dayanya tersedia di banyak tempat secara cuma-cuma.
Selain garam, bahan makanan utama lainnya, seperti daging, kedelai, jagung, susu, gula, dan gandum, pun disuplai negara lain. Tidak tanggung-tanggung, menurut Sekretaris Jenderal Asia Pacific Agricultural Policy Forum, Hermanto Siregar, ketergantungan pada bahan pangan impor itu menyedot devisa hingga Rp 50 trilyun per tahun.
Hermanto mengakui, secara total di sektor pertanian, neraca perdagangan memang masih surplus. Tapi hal itu terjadi karena Indonesia banyak mengekspor komoditas perkebunan, seperti crude palm oil (CPO) yang tergolong pangan non-perkebunan. ”Nah, yang harus diwaspadai, angka defisit secara umum terjadi pada komoditas pangan, terutama gandum,” ungkap peraih PhD bidang makro-ekonomi dari Lincoln University, Selandia Baru, itu.
Ahli peneliti utama kebijakan pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Husein Sawit, menilai bahwa peran perusahaan multinasional tambah kuat dan berpengaruh lantaran melakukan politik dumping. ”Selain itu, mereka menguasai seluruh jalur industri pangan dari hilir ke hulu,” ujar Husein. Di industri hulu, misalnya, produsen sarana produksi pertanian, seperti benih atau bibit, pupuk, dan pestisida, sedangkan di hilir, antara lain, industri pengolahan pangan.
Negara berkembang seperti Indonesia hanya menjadi buruh tanam untuk sarana produksi yang dihasilkan perusahaan multinasional. Hasil produksi petani dan buruh tani Indonesia itu diolah dan diperdagangkan oleh industri pengolahan pangan. Hasil produksinya diperdagangkan melalui perusahaan retail, yang semuanya milik perusahaan multinasional. Ironisnya, pasar terbesar untuk produk olahan itu adalah negara berkembang seperti Indonesia, yang notabene adalah penghasil produk mentah pangan tersebut.
Perusahaan Monsanto dari Amerika Serikat, misalnya, dalam 10 tahun terakhir memasok berbagai jenis benih, seperti jagung, kapas, dan sayuran. Laboratorium pembibitannya tidak hanya terdapat di Amerika, melainkan juga di ratusan lokasi di dunia. Syngenta (Swiss) pun mencatat kenaikan penjualan benih 20% pada semester I 2008, yakni menjadi US$ 7,3 milyar, dibandingkan dengan semester I 2007. Pada saat ini, Syngenta memiliki 300 benih terdaftar dan 500 varietas benih komersial.
Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, mengungkapkan bahwa Indonesia tidak harus bersikap anti-impor produk makanan. Sebab, untuk menjaga ketersediaan pangan, impor masih diperlukan. ”Yang harus diingat, kebijakan impor dilakukan demi menjaga ketersediaan pangan untuk rakyat, terutama di saat kita mengalami masalah cuaca,” katanya.
Menurut Mari, sangat sulit mengondisikan agar Indonesia tidak mengimpor produk makanan, mengingat ada saat-saat kekurangan stok lantaran terkendala cuaca. ”Langkah impor harus dilakukan sebagai upaya untuk menyeimbangkan stok produk makanan dengan kebutuhan masyarakat,” kata Mari Elka Pangestu.
Pada saat Indonesia mampu melakukan swasembada pangan pun, negeri ini masih harus melakukan impor, meski jumlahnya hanya 10% dari produksi nasional. ”Sebab ada masa paceklik yang membuat defisit produksi, sehingga perlu impor untuk menambah stok yang ada,” ia menegaskan. Meskipun demikian, impor bahan makanan merupakan langkah paling akhir yang akan ditempuh pemerintah dan penggunaan produk makanan dalam negeri tetap menjadi prioritas.
Heru Pamuji
Sumber : http://www.gatra.com
Phoro : http://penebar-swadaya.com/catalog/images/pangan2.gif