Guru Besar IPB University Mengabdi Temukan Penyebab Kenaikan Angka Stunting di Kota Bogor Saat Pandemi
Guru Besar IPB University Mengabdi Temukan Penyebab Kenaikan Angka Stunting di Kota Bogor Saat Pandemi
Ketua Dewan Guru Besar (DGB) IPB University, Prof Dr Evy Damayanthi menyampaikan bahwa angka stunting Kota Bogor, meskipun kecil, akan tetapi menunjukkan tren kenaikan. Hal tersebut ia sampaikan dalam Webinar Pembangunan Gizi dan Kesehatan Masyarakat Kota Bogor, pekan lalu. Pada tahun 2019 sudah ada penurunan angka stunting di Kota Bogor menjadi 4,52 persen dari 4,80 persen pada tahun 2018. Namun pada tahun 2020 naik menjadi 10,50 persen yang dihitung berdasarkan Bulan Pemantauan Balita Kota Bogor.
Dalam program Guru Besar Mengabdi IPB University yang bertujuan untuk turut berupaya mencegah naiknya angka stunting di Kota Bogor pada bulan November-Desember 2020, Prof Evy dan tim menemukan masalah gizi masyarakat yang utama berdasarkan data Dinas Kesehatan dan Puskesmas.
“Kami menemukan rendahnya cakupan pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dan tingginya angka anemia pada ibu hamil. Kedua hal ini bisa menjadi penyebab terjadinya stunting pada anak. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya agar angka stunting di Kota Bogor pada masa pandemi COVID-19 ini tidak terus naik, syukur-syukur dapat ditekan turun,” ucapnya.
Setelah mengetahui permasalahan yang ada di Kota Bogor, Program Guru Besar Mengabdi ini bekerja sama dengan mahasiswa IPB University dari Program Studi Dietisien dan tenaga gizi dari empat Puskesmas di Kota Bogor melakukan edukasi gizi. Edukasi gizi dilakukan secara tatap muka di Posyandu, Kantor Puskesmas atau kunjungan rumah.
Kegiatan pengabdian ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan motivasi ibu hamil untuk memberikan ASI eksklusif selama enam bulan dan taat minum Tablet Tambah Darah (TTD) agar tidak mengalami anemia.
“Edukasi gizi ini berhasil meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang ASI eksklusif dan anemia sebesar rata-rata 20 persen,” tuturnya.
Menurutnya, kurangnya pengetahuan terkait gizi dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Sehingga perlu dilakukan kegiatan edukasi gizi, tidak hanya terkait stunting, ASI eksklusif, anemia tapi juga pentingnya gizi saat kehamilan dan gizi seimbang.
Edukasi gizi ini perlu dilakukan beberapa kali agar dapat terjadi perubahan perilaku ibu hamil. Keadaan pandemi COVID-19 ini membatasi kegiatan penyuluhan gizi secara tatap muka, namun edukasi gizi dan kesehatan kepada ibu hamil dan menyusui tetap diperlukan sehingga perlu dikembangkan berbagai inovasi kegiatan atau program dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
“Kerja sama antar perguruan tinggi, tenaga gizi, kader posyandu dan tenaga penggerak PKK perlu dilakukan dalam upaya mengatasi masalah gizi dan kesehatan. Penyuluhan gizi dan kesehatan melalui partisipasi masyarakat tidak kalah penting. Bisa melalui gerakan yang terkecil untuk memperhatikan sekitarnya. Ini merupakan modal sosial yang patut dipertimbangkan sebagai suatu alternatif solusi,” imbuhnya.
Selain itu perlu dipertimbangkan pemberian Sertifikasi ASI bagi Ibu yang lulus dalam pemberian ASI Eksklusif sebagai bentuk penghargaan. Prof Evy juga merekomendasikan agar tetap dilakukan Program Kader Pemantau ASI yang dilakukan setiap bulannya untuk memantau bayi per wilayah agar tetap mendapatkan ASI Eksklusif dan akhirnya juga diperlukan kepedulian semua elemen bangsa dalam upaya mengatasi masalah stunting.
Prof Dr Hardinsyah, Guru Besar IPB University yang juga Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia dan Presiden of Federation of Asian Nutrition Societies (FANS) menyebutkan bahwa masih ditemukan kasus Balita di bawah garis merah (gizi kurang) di Kota Bogor. Kondisi gizi kurang ini potensi menjadi kronik dan stunting. Permasalahan gizi ini akan berdampak buruk pada kualitas sumberdaya manusia, daya saing dan ekonomi masyarakat, bangsa dan negara.
“Stunting dapat berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit dan menurunkan produktivitas. Dampak ke depannya adalah menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan serta kesenjangan. Tapi saya optimis Kota Bogor memiliki keunikan dan kemampuan untuk menjadi terdepan dan teladan dalam pencegahan anemia dan stunting. Pendekatan keluarga, rukun tetangga (RT) dan Posyandu yang fokus pada ibu hamil dan ibu menyusui di masa pandemi akan memiliki daya ungkit yang potensial dalam membumikan upaya ini,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Ketua TP-PKK Kota Bogor, Yane Adrian, SE, MSi menyampaikan beberapa program untuk penurunan stunting yang telah dilakukan PKK Kota Bogor. Salah satunya adalah Taleus Bogor (Tanggap Leungitkeun Stunting), inovasi percepatan penurunan stunting terintegrasi. Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor, dr Sri Nowo Retno berharap masukan dan kerjasama dapat terus dilakukan dari kalangan akademisi dan lintas sektor untuk menurunkan angka stunting. (dh/Zul)