CTSS IPB University Hadirkan Pakar Bahas Migrasi Burung dari Kacamata Biologi dan Fisika Kuantum
CTSS IPB University Hadirkan Pakar Bahas Migrasi Burung dari Kacamata Biologi dan Fisika Kuantum
Center for Transdisciplinary and Sustainability Science, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (CTSS LPPM) IPB University kembali menggelar seri diskusi transdisiplin, 21/06. Seri diskusi kali ini menghadirkan Prof Ani Mardiastuti, pakar Ekologi dan Pengelolaan Satwa Liar IPB University. Selain itu, hadir juga Prof Husin Alatas, Guru Besar bidang Teori Fisika, IPB University.
Kepala CTSS IPB University, Prof Damayanti Buchori menjelaskan serial diskusi Transdisciplinary Tea Talk kali ini diadakan dalam rangka memperingati hari lingkungan hidup. Khususnya untuk melihat perilaku burung dari kacamata biologi dan fisika kuantum. CTSS IPB University ingin mempertemukan antara kelimuan fisika dan biologi untuk membahas perilaku migrasi burung.
“Kali ini kami mempertemukan keilmuan fisika dan biologi di CTSS. Harapannya kita bisa melihat fenomena migrasi burung untuk membumikan dan melihat dari kacamata transdisiplin ilmu,” ungkap Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University ini.
Prof Ani Mardiastuti, dosen IPB University dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, mengungkapkan sejak dahulu manusia memperhatikan mekanisme burung untuk mengenali arah. Misalnya kemampuan burung ini dimanfaatkan manusia untuk mengirim surat. Dalam perkembangannya berbagai bidang ilmu digunakan untuk menjelaskan dan memanfaatkan kemampuan ini.
“Burung memiliki sistem navigasi yang presisi untuk melakukan migrasi jarak jauh. Akurasi burung dalam perjalanan antar benua ini didukung dengan kompas alami yang ada di tubuhnya. Sehingga memungkinkan burung untuk menentukan orientasi menggunakan matahari dan magnet bumi,” ungkap Prof Ani.
Pakar konservasi satwa liar IPB University ini menjelaskan bahwa fenomena burung bermigrasi telah lama mendapat perhatian para ilmuwan. Ia mengatakan, beberapa ilmuwan menduga bahwa medan magnet bumi mempengaruhi reaksi kimia yang melibatkan fotoreseptor di mata burung. Dengan demikian, otak burung akan mencatat perubahan pada cryptochrome dan memilih arah yang sesuai.
“Pandangan lain adalah bahwa paruh burung memiliki kandungan kristal magnetik yang merespon medan magnet bumi dan menyampaikan pesan melalui sistem saraf ke otak. Tetapi, belum diketahui mekanisme ini bekerja,” ujarnya.
Di samping itu, ia menyebutkan ada ilmuwan yang meneliti bahwa burung American Robin (Turdus migratorius) memiliki cryptochrome sehingga dapat mengenali tempatnya. Cryptochrome yang dimaksud adalah cryptochrome 4 (Cry4).
“Ada tiga Cryptochrome yang diketahui yaitu Cry1, Cry2 dan Cry4. Tetapi Cry1 dan Cry2 ternyata mengalami perubahan panjang akibat efek dari pencahayaan dan hanya Cry4 yang tetap,” katanya.
Sehingga, kata Prof Ani, Cry4 diduga memiliki peran besar bagi burung untuk melakukan migrasi. Namun demikian, perilaku migrasi burung juga tidak terlepas dari reaksi biologi, kimia, fisika dan biokimia di dalam tubuh burung.
Menurutnya navigasi burung ini merupakan sebuah penemuan baru yang cukup kompleks untuk dijelaskan menggunakan pendekatan satu ilmu. Penggunaan pendekatan transdisiplin ilmu diperlukan, misalnya menggunakan biologi, biokimia, dan fisika kuantum.
Selaras dengan penjelasan tersebut, Prof Husin Alatas mengungkap bahwa burung menggunakan reaksi kimia yang ada di mata. Proses kimia ini melibatkan cahaya dan menghasilkan orientasi molekul sensitif yang bergantung kepada medan magnet.
“Reaksi fotocemical menghasilkan senstivitas burung dalam merasakan medan magnet bumi. Sehingga diduga burung bisa memindai gradien dari medan magnet bumi. Hal ini memungkinkan navigasi burung menjadi efektif, ” ungkap Prof Husin, Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), IPB University.
Ia menjelaskan bahwa kemampuan ini sangat mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Manusia bisa belajar dari kemampuan burung untuk mendapat sistem navigasi yang lebih akurat dibandingkan dengan Global Positioning System (GPS). Hal ini memerlukan pendalaman yang lebih lanjut. (NA/RA/Zul)