Bangsa Pembajak Hak Cipta
Bangsa Pembajak Hak Cipta
Kusmayanto Kadiman
Menteri Negara Riset dan Teknologi Berita Indonesia kembali masuk daftar hitam pelanggar hak cipta, sesuai dengan laporan United State Trade Representatives-Priority Watch List (Kompas, 1/5), sungguh merupakan tamparan. Berita itu merupakan tamparan mengingat berbagai ide, konsep, inisiatif, hingga pembuatan undang-undang telah dilakukan. Pada tahun 2006 United State Trade Representatives memasukkan Indonesia ke daftar abu- abu, yaitu Watch List, sebagai apresiasi kesungguhan Indonesia memberantas pembajakan. Bahkan, tahun 2009 dicanangkan sebagai Tahun Indonesia Kreatif dengan semangat Aku 100 Persen Cinta Produk Indonesia. Pasti ada kesalahan mendasar yang kita lakukan. Apa itu? Berita yang memalukan ini bak berita biasa dan nyaris tidak mendapat perhatian, mengingat seluruh masyarakat sedang demam, terpana, bahkan terhipnotis, hiruk-pikuk dagang sapi dan hawa panas konstelasi Pemilu Presiden 2009. Ditambah berita heboh seputar skandal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Belum lagi geliat alam yang senantiasa melakukan penyeimbangan atas kecerobohan dan kerakusan manusia melakukan eksploitasi berlebihan pada kekayaan alam. Bencana alam dan bencana akibat ulah manusia silih berganti mengancam dan menerpa kita. Longsor, banjir, kebakaran bangunan dan lahan, sampai kecelakaan transportasi berkoalisi menjadi ancaman keseharian kita. Sumber penyakit pun seperti tak mau kalah. Demam berdarah, flu burung, dan kini flu babi bak berkoalisi menjadi ancaman massal ketenteraman kita. Masalah ”software” Hak cipta atau sering disebut hak atas kekayaan intelektual (HaKI) adalah produk hukum yang memberikan perlindungan atas karya inovatif dari sang pencipta. HaKI dapat diajukan dalam berbagai wujud, seperti merek dan logo dagang, resep, formula, komposisi, lirik, sampai artefak teknologi. Upaya Indonesia melindungi HaKI atas karya komposer Gesang dengan lagu ”Bengawan Solo” adalah contoh nyata perjuangan menegakkan HaKI yang hasilnya bukan hanya memberikan manfaat positif pada sosioekonomi sang komposer, tetapi juga pada peningkatan citra bangsa. Mari kita fokus pada HaKI yang terkait perlindungan dan penegakan hukum pada karya inovatif bidang peranti lunak dan aplikasi komputer yang lebih populer dengan istilah software. Gempuran ”software” Kesadaran akan peluang sekaligus ancaman globalisasi sudah kita pahami betul. Ide, konsep, strategi, sampai realisasi fortifikasi (”Fortifikasi dalam Globalisasi”, Kompas, 4/3) yang menjadi kiat mitigasi dari tsunami globalisasi juga sudah kita gulirkan. Fortifikasi atas gempuran software impor telah membangunkan ABG (academicians, businessmen, government) untuk kemudian menggelorakan semangat Indonesia Go Open Source! (IGOS) pada awal 2004, yaitu semangat membangun peranti lunak yang memenuhi kebutuhan mendasar bagi pengguna komputer tanpa kekhawatiran melanggar HaKI dan tanpa pemborosan uang untuk membayar lisensi yang harus dibayarkan kepada pemilik yang notabene menjadi dampak negatif atau ancaman globalisasi. Jika copyrights adalah senjata pamungkas kapitalis, juga telah ada perlawanan berupa gerakan copyleft yang digagas para pejuang yang juga berasal dari negara kapitalis, yaitu Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat. Semangat dan perjuangan IGOS ini serupa dengan copyleft movement. Ada juga gerakan dari Eropa yang melawan, yaitu perjuangan yang diinisiasi dan dimotori penuh determinasi oleh Linus Torvalds dari Finlandia, dengan membangun berbagai peranti lunak untuk mengoperasikan dan memanfaatkan komputer dengan semangat dari kita untuk kita. Free Open Source Software (FOSS) telah menjadi ikon baru sebagai penyeimbang gempuran Proprietary Softwares; meski kata free tidak selamanya berkonotasi gratis. Jargon Linux kini dipandang bukan hanya sebagai sebuah artefak teknologi, tetapi sudah naik ke tataran semangat perjuangan copyleft. Kapitalisme ”software” Kesadaran akan peluang sekaligus ancaman kapitalisme software juga telah menarik perhatian pimpinan negara-negara, bukan hanya yang masuk daftar negara berkembang. Presiden AS Barack Obama dalam gebrakan 100 harinya juga menjadikan Gedung Putih sebagai pilot pengembangan dan penggunaan FOSS. Hal serupa dilakukan Presiden India yang pada 4 Juni 2007 menginstruksikan penerapan FOSS dalam sistem pertahanan demi menciptakan sistem pertahanan nasional yang lebih aman. Ini dilakukan sang presiden yang juga ilmuwan dan ahli nuklir, mengingat peperangan masa kini atau perang modern tidak lepas dari bertahan dari ancaman melalui pengintaian, penetrasi, dan perusakan melalui sistem komunikasi dan informasi. Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, yang terkenal dengan fokus To Make Brazil A Much Better Place, dengan lantang mengatakan tidak akan membolehkan Pemerintah Brasil boros dan membuang uang rakyat berupa melayangnya devisa hanya untuk membayar lisensi software. Dikatakan, dengan tegas kepada pemilik lisensi peranti lunak untuk hengkang dari Brasil jika tidak kooperatif dengan program pemerintah. FOSS dijadikan inklusif dari dan untuk rakyat Brasil. Tetangga dekat kita yang relatif baru keluar dari kungkungan penjajahan, yaitu Vietnam, telah menggagas semangat dan kiat ”Vietnam 100 Persen Open Source by 2010”. Kita kini sedang dengan harap cemas menanti deklarasi pasangan-pasangan yang akan berkompetisi dalam Pemilu Presiden 2009. Akankah semangat perjuangan Indonesia terhapus dari daftar hitam pembajak HaKI dijadikan indeks kinerja bagi pasangan-pasangan itu atau dicantumkan dalam kontrak politik dengan para pencontreng dalam Pilpres 2009? Ataukah kita masih harus bersabar sampai datangnya kesempatan mendapat pemimpin yang mau dan mampu mengentaskan kita dari jebakan We do not learn that we do not learn seperti diuraikan Nassim Nicholas Taleb dalam buku The Black Swan-The Impact of Highly Improbable, 2007. Kita berharap mendapatkan anugerah dipimpin negarawan yang terus berpikir menjadikan Indonesia sebagai zamrud khatulistiwa yang memberikan kesejahteraan dan lepas dari jebakan politikus yang fokusnya lebih pada pemenangan pilpres. Kita berharap mendapat yang terbaik dan senantiasa siap menerima yang terburuk. Sumber : Kompas / humasristek
|