PKSPL dan PSA IPB University Bersama Christian-Albrecht University of Kiel Jerman Berkolaborasi Bahas Teluk Jakarta
PKSPL dan PSA IPB University Bersama Christian-Albrecht University of Kiel Jerman Berkolaborasi Bahas Teluk Jakarta
Kondisi Teluk Jakarta saat ini bisa dikatakan dengan tiga kata yakni overexploited, overcrowd, dan overdeveloped. Wilayah pesisir khususnya urban coastal terus mengalami tekanan, baik karena faktor antropogenik maupun faktor alamiah. Padahal 63 persen penduduk mengandalkan hidup dari ekosistem pesisir. Maka pesisir adalah lokus bernilai tinggi untuk dikelola.
Hal ini disampaikan Dr Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University dalam Workshop Transformasi Sosioekologi Teluk Jakarta, (6/7). Workshop ini merupakan hasil kerjasama dua unit kerja di IPB University yaitu PKSPL dan Pusat Studi Agraria (PSA) dengan Marine Social Science-Christian-Albrecht University of Kiel.
Menurut Jonas Hein dari Kiel University, workshop ini bertujuan untuk menemukan state of the art atau inovasi bagi kajian transdisiplin mengenai kondisi sosioekologis dan ekologi politik perkotaan pesisir, khususnya pasca reklamasi Teluk Jakarta. Workshop ini menghadirkan pakar-pakar yang diharapkan dapat memberikan pemikiran, gagasan dan jalan menuju riset interdisiplin ke depan.
Sarwono Kusumaatmaja, Ketua Dewan Penasihat Perubahan Iklim pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, penanganan dan kebijakan yang business as usual dan linear hanya akan menambah tinggi risiko yang sudah ada. “Dibutuhkan perubahan kebijakan yang melek atas kondisi perubahan sosial ekologis Teluk Jakarta agar tak jatuh pada lubang yang tak terduga dan berdampak buruk, ” ujarnya.
Franz Krause dari University of Koeln, Johannes Herbeck dan Sri-Rapti Siriwardane de Zoysa dari University of Bremen, serta Wilmar Salim dari Institut Teknologi Bandung sepakat bahwa pesisir dunia saat ini mengalami proses keterputusan antara lautan dan kota dalam sebuah urban coastal planning. Seringkali pembangunan kota pesisir mengindikasikan adanya relasi ekonomi politik yang tidak semata teknis, rentan terjadi maladaptasi, dan tidak inklusif. Transformasi pesisir menjadi arena kontestasi sosial dari imajinasi kota modern, politik perebutan sumber daya, dan ekonomi ekspansi kapital.
Menurut Luky Adrianto, Dosen IPB University dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), dalam sistem sosioekologi pesisir sering terjadi mismatch atau ketidaksesuaian antara variasi lingkungan dengan kemampuan pengelolanya.
“Sehingga yang terjadi di Teluk Jakarta ini apakah suatu Coastal Urban Development atau Urban Development semata?” tanyanya.
Pertanyaan serupa juga disampaikan Dr Arya Hadi Dharmawan, Dosen IPB University dari Fakultas Ekologi Manusia. Dr Arya menanyakan arah pembangunan pesisir Teluk Jakarta.
“Teluk Jakarta ini hendak “fisher-free” atau “fisher-with” di tengah kompleksnya masalah di Jakarta dan pesisirnya. Untuk itu kami tawarkan konsep Adaptive Waterfront Landscape of Jakarta Bay,” ujarnya.
Antropologi Universitas Indonesia, Suraya Affif menambahkan bahwa proses displacement akibat imajinasi pembangunan pesisir Teluk Jakarta tidak pernah dikaji. Sehingga kaum marjinal ini invisible dan tak pernah diperhitungkan dalam perencanaan berbasis kepentingan kapitalistik.
Nasruddin Joko Surjono selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta mengungkapkan bahwa reklamasi ini bermanfaat karena berhasil mengubah sesuatu yang awalnya tidak bernilai menjadi punya harga. Persoalan penghentian reklamasi pun menjadi masalah rumit akibat gugatan para investor yang kontraknya dibatalkan. Namun diakui bahwa dampak lingkungan dari reklamasi memang ada. Seperti penurunan tanah dan kerusakan kualitas teluk. Namun solusi teknis telah disiapkan untuk ini.
Abdi Tri Priyanto dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mengamini bahwa semua kebijakan mengenai reklamasi Teluk Jakarta telah sesuai dengan regulasi yang ada. Yang diperlukan adalah bagaimana mengintegrasikan antara rencana tata ruang darat dan tata ruang laut. Secara normatif pemerintah yakin bahwa pembangunan Teluk Jakarta saat ini telah tepat. “Tujuannya adalah menjadikan Jakarta sebagai kawasan perkotaan yang dinamis berbasis ekonomi kelautan dan berdaya saing global melalui penataan zona dan kompatibilitas antar ruang. Meskipun begitu, diakui bahwa persoalan lingkungan belum sepenuhnya teratasi dan persoalan penghidupan nelayan terkadang dalam praktiknya menjadi sub-ordinat dari prioritas lain,” ujarnya.
Pada sisi dampak, diakui bahwa reklamasi memberikan dampak langsung dan tidak langsung pada manusia maupun lingkungan Teluk Jakarta. Dr Ario Damar dari PKSPL IPB University menyatakan bahwa Teluk Jakarta memiliki peran penting bagi biota perairan dan perikanan Laut Jawa. Namun kualitas teluk sendiri dinilai kurang baik.
Rilus Kinseng dari Center of Sustainable and Transdisciplinary Science (CTSS) IPB University juga mengungkapkan bahwa reklamasi menimbukan tiga hal. Yakni perlawanan yang meningkatkan tensi konflik, memunculkan ketidaksinkronan wewenang dan gangguan terhadap penghidupan nelayan.
Sementara itu, Muhammad Afif dari KIARA menyampaikan bahwa upaya perlawanan masyarakat sipil seringkali berhadapan dengan pendekatan legal formal yang menjustifikasi kebijakan yang tidak demokratis. Kondisi ini terjadi di semua lokasi reklamasi di Indonesia, di mana semua fondasi teknis dan hukum dari reklamasi ini sama, serta sama-sama abai pada masukan sosiologis. (yc/Zul)