IPB University Temukan 12 Potensi Risiko dalam Implementasi UUCK
IPB University Temukan 12 Potensi Risiko dalam Implementasi UUCK
Dr Ernan Rustiadi, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University, menyampaikan bahwa di tengah pro-kontra Undang-undang Cipta Kerja (UUCK), IPB University terpanggil untuk memberikan pandangan sesuai kompetensi akademis dan skala prioritas pada bidang agromaritim. Pada konferensi pers Tinjauan Kritis IPB University Terhadap UU Cipta Kerja: Suatu Perspektif Agromaritim, (18/2), Dr Ernan mengatakan bahwa ada berbagai catatan kritis pada proses penyusunan dan pengesahan UU Cipta Kerja.
“Harus diakui bahwa metode omnibus law memiliki potensi solutif di dalam merespon sektoralisme tata kelola Sumber Daya Alam dan tumpang tindih kebijakan di kementerian/lembaga di Indonesia. Namun dengan adanya analisa kritis terhadap substansi UUCK maka kita dapat melihat apakah omnibus law yang dipraktikkan dalam UUCK sudah memiliki kemampuan untuk menjawab amanat TAP MPR IX/2001. Yakni untuk melakukan harmonisasi kebijakan terkait pembaruan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam ataukah UUCK berisiko akan memperlebar dan memperdalam kompleksitas permasalahan tata kelola Sumber Daya Alam yang telah ada,” ujarnya.
Tinjauan akademik yang dilakukan IPB University terhadap UU Cipta Kerja hanya fokus pada aspek substansi yang telah disahkan oleh pemerintah. IPB University menemukan sejumlah potensi risiko yang terdapat dalam UUCK pada bidang agromaritim.
Ada 12 potensi risiko yang ditemukan. Yakni Rencana Detil Tata Ruang (RTDR) yang bias kota, resentralisasi kewenangan tata ruang, ancaman degradasi keanekaragaman hayati dan kontaminasi pangan, ancaman kedaulatan pangan berbasis impor, sentralisasi perizinan berusaha, pengarusutamaan investasi daripada kelestarian lingkungan, ketidakjelasan definisi subjek dan objek agromaritim, kerentanan sumber nafkah agrarian, dilema reforma agraria dengan proyek strategis nasional, peningkatan eskalasi konflik dan ketimpangan agrarian, liberalisasi pemanfaatan sumber daya (nasionalisme), dan dampak lanjutan dari pelemahan sanksi.
Menurut Dr Rina Mardiana, salah satu anggota tim penyusun analisis kebijakan UUCK, RDTR yang tidak siap dan bias kota akan menjadi ruang transaksi ekonomi politik yang tidak sehat.
Selain itu, kemudahan impor pangan atau liberalisasi pangan berpotensi merugikan subjek agromaritim (seperti petani, peternak, petambak, dan nelayan), sehingga para subjek agromaritim ini akan berhadapan dengan gempuran impor para importir pangan kelas kakap.
“Kemudian sentralisasi perizinan berusaha menyebabkan semua izin berada di pusat. Saya tidak dapat membayangkan betapa rumitnya peternak yang merupakan masyarakat hukum adat di pulau kecil harus memiliki izin dari pusat,” lanjutnya.
Menurut Dr Rina, potensi tersebut dapat dihilangkan (direduksi) dengan beberapa cara. Yakni menyeimbangkan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat dan lingkungan, redistribusi kewenangan daerah dan pusat yang proporsional, penguatan integritas pelaksana, penguatan basis ekonomi perdesaan, penyempurnaan kebijakan tata ruang dan agromaritim, pengendalian impor dan sistem informasi yang terintegrasi.
Untuk itu, dalam upaya menghadirkan UUCK yang berkeadilan untuk semua pihak serta meminimalisir dampak negatif yang menyertainya, IPB University berkomitmen turut memberikan andil dan mengawal pemberlakuan UUCK.
“Beberapa rekomendasi dari hasil kajian, saya harap dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang berkeadilan dan pro rakyat kecil”, pungkas Dr Ernan.
Sementara itu, menurut Wakil Rektor bidang Kerjasama dan Sistem Informasi, IPB University, Prof Dr Dodik R Nurrochmat, kajian ini sudah dilakukan cukup lama bahkan sebelum UUCK disahkan. Tentu tidak ada kata terlambat meski UUCK sudah disahkan dan peraturan pelaksananya juga sudah dikeluarkan atau diundangkan.
“Apa yang kami sampaikan ini baru sebatas pada materi UUCK karena materi peraturan pelaksananya baru ada kemarin. Kajian kami ini adalah kajian hidup yang terus berkembang yang mengevaluasi kesesuaian peraturan pelaksana dengan UUCK. Karena bisa jadi masalahnya bukan pada undang-undangnya tapi pada peraturan pelaksananya. Tapi tentu aturan pokoknya itu yang harus kita evaluasi. Tujuan kritis ini melihat secara seimbang, tapi ada beberapa hal yang kira-kira berpotensi dan berisiko tentu menjadi catatan kritis kami untuk perbaikan UUCK,” ujarnya. (Zul)