P3HLI Menggandeng ADHPHLI dan PSSP LPPM IPB University dalam Webinar Internasional Manajemen Pembiakan Satwa Primata
P3HLI Menggandeng ADHPHLI dan PSSP LPPM IPB University dalam Webinar Internasional Manajemen Pembiakan Satwa Primata
Perhimpunan Peneliti dan Pengguna Hewan Laboratorium Indonesia (P3HLI) berkolaborasi bersama Asosiasi Dokter Hewan Praktisi Hewan Laboratorium Indonesia (ADHPHLI) dan Pusat Studi Satwa Primata (PSSP), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakata (PSSP-LPPM) IPB University serta Program Studi Primatologi, Sekolah Pascasarjana IPB University menggelar webinar internasional dengan topik “Breeding Management of Nonhuman Primates in Supporting Biomedical Research”, (9/2).
Webinar tersebut merupakan bagian dari rangkaian Webinar Series on Laboratory Animal Science and Medicine yang merupakan program Webinar rutin P3HLI dan ADHPHLI.
Topik ini menyinggung mengenai penggunaan hewan coba atau hewan laboratorium sebagai bagian penting dalam tahap penelitian dan pengujian di bidang biomedis. Webinar ini dihadiri peserta dari dalam dan luar negeri.
Prof Drh Dondin Sajuthi, Presiden ADHPHLI dan Ketua Program Studi Primatologi IPB University menjelaskan dalam sambutannya bahwa diperlukan pemahaman bahwa hewan laboratorium tidak terbatas pada spesies kecil seperti mencit dan tikus, namun meliputi spesies besar termasuk satwa primata.
“Baik mengenai pertimbangan etik dan kesejahteraan hewan, penggunaan satwa primata perlu didukung berbagai aspek ilmiah termasuk memastikan ketersediaan hewan berkualitas yang diperoleh dari program penangkaran yang baik. Selain itu, program pembiakan (breeding) atau penangkaran satwa primata memerlukan pertimbangan pada aspek manajemen kesehatan termasuk pemahaman fisiologi reproduksi yang sangat mendukung keberhasilan program,” ujarnya.
Dr drh Huda S Darusman, Kepala PSSP IPB University hadir dan membahas topik “Health Management Program in NHP Breeding Facility: Challenges in Indonesia”. Secara singkat, ia menjelaskan mengenai beberapa fasilitas penangkaran di PSSP, manajemen kesehatan primata beserta tantangannya, dan juga kebijakan yang terkait.
“Pusat Studi Satwa Primata telah memfasilitasi secara lengkap mulai dari perawatan satwa hingga program perawatan kesehatan satwa. Termasuk ke dalamnya pengelolaan sumber daya dan pengadaan satwa dan pencegahan penyakit beserta manajemennya,” jelasnya.
Program perawatan kesehatan hewan amat diperhatikan secara rinci mengingat kedekatan kekerabatan antara manusia dan satwa primata. Mulai dari aspek genetik dan legalitas sumber daya, transportasi, identitas, hingga status kesehatan. Status kesehatan tersebut menjadi acuan bagi satwa primata untuk diberikan pertimbangan perlakuan, misalnya isolasi hingga eutanasia.
Menurutnya, proses eutanasia pun tak dilakukan sembarangan, namun mengacu pada pedoman. Misalnya AVMA (American Veterinary Medical Association) Guideline for The Euthanasia of Animals dan selalu mengacu pada pedoman terbaru.
“Selain pengecekan kesehatan fisik yang dilakukan secara rutin dan berkala, status kesehatan psikologis satwa juga menjadi perhatian penting. Satwa primata yang berada di penangkaran tentunya akan berbeda perilakunya dengan primata liar di alam. Pengurungan yang memakan waktu cukup lama akan mempengaruhi tingkat rasa sakit dan stres primata. Maka dari itu perlu juga dilakukan pengecekan tingkah laku, fisiologi, dan biokimia tubuh pada primata,” imbuhnya.
Drh Huda menyebut bahwa kondisi primata dalam penangkaran tersebut memberikan beberapa tantangan tersendiri. Tantangan tersebut dapat berasal dari sisi satwa primata dan manusia. Dari sisi satwa primata, terdapat tantangan berupa masalah sosial, hierarki, ukuran otak yang besar, dan kemiripan dengan manusia. Sedangkan dari sisi manusia, terdapat tantangan berupa aspek etika dan hukum, kompatibilitas, serta supply dan demand.
“Tantangan tersebut berpengaruh pada keterbatasan penggunaan satwa primata dan kompatibilitasnya, sehingga kami perlu mengetahui kapan dan dimana harus bijak dalam penggunaannya,” sebutnya.
Terlebih lagi, di era pandemi COVID-19, ia menyebutkan bahwa permintaan akan satwa primata bagi studi COVID-19 amat tinggi. Sehingga pasokan satwa primata pun terbatas karena harus memenuhi aturan etika dan juga turut memperhatikan aspek lingkungan.
“Acuan kebijakannya adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 26/Kpts-11/1994 tentang pemanfaatan jenis kera ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), dan Ikan Arowana (Scleropages formosus) untuk keperluan ekspor yang harus berasal dari penangkaran. Selain itu mengacu pula pada Permen LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 mengenai perubahan kedua atas Permen LHK NO. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi,” imbuhnya.
Pada webinar tersebut juga hadir Kelly Ethun, DVM, PhD, DACLAM Senior Veterinary Scientist, Assistant Research Professor dan Co-Director of Biomarkers Core Laboratory Yerkes National Primate Research Center, Emory University, Atlanta, Georgia, USA dengan Judul Presentasi “Reproductive Physiology and Breeding Management of Captive NHPs”.
Ia turut menjelaskan mengenai aspek fisiologi reproduktif dan manajemen garis besar mengenai National Primate Research Centres (NPRCs) di Amerika Utara dan beberapa studi biomedis yang didukung, terutama bagi koloni satwa primata di Yerkes NPRC.
Turut pula dipaparkan mengenai anatomi reproduktif sederhana dari satwa primata beserta fundamental dari fisiologi reproduksi, pembiakan, perilaku reproduktif terutama pada spesies Macaca. (MW/Zul)