LPPM IPB University Gelar FGD Terkait RPP Turunan UU Cipta Kerja dalam Usaha Perkebunan Sawit
LPPM IPB University Gelar FGD Terkait RPP Turunan UU Cipta Kerja dalam Usaha Perkebunan Sawit
Tim Studi Sawit Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University bekerja sama dengan Tim Serap Aspirasi Undang-Undang Cipta Kerja menggelar Focus Group Discussion (FGD) secara daring mengenai Rancangan Peraturan Presiden (RPP) Turunan UU Cipta Kerja (UUCK) terkait usaha perkebunan sawit, pekan lalu.
Dr Ernan Rustiadi, Kepala LPPM IPB University menyebutkan bahwa RPP tersebut yakni terkait sektor pertanian, bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta penertiban kawasan dan tanah terlantar. Kegiatan tersebut juga sebagai penuntasan tugas dari Rektor IPB University dalam tanggapan mengenai UU Cipta Kerja perspektif ilmiah sesuai bidang keahlian LPPM. Selain itu, kegiatan ini juga sebagai upaya membuka pemahaman UU Cipta Kerja dari berbagai kalangan bahkan hingga sebagai referensi dalam penyusunan RPP.
Prof Dr Budi Mulyanto, Guru Besar IPB University dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian selaku salah satu anggota Tim Serap Aspirasi RPP UUCK menyebutkan bahwa latar belakang RPP UUCK ini harus dipahami mengingat di samping kekayaan sumberdaya alam dan manusianya yang melimpah, masih terdapat banyak pengangguran di Indonesia.
Undang-undang yang lama dinilai sangat sektoral, selain itu masih terdapat banyak sengketa dan konflik sehingga pengusaha sukar melakukan pengembangan usaha. Dampaknya, lapangan kerja sukar pula dikembangkan dan yang terpenting adalah stabilitas nasional terganggu. Sehingga diperlukan beberapa upaya termasuk pembentukan UU Cipta Kerja dalam mengharmoniskan beberapa UU yang ada. Kontribusi berbagai komunitas dalam perancangan RPP tersebut juga dibutuhkan untuk mengawasi dan memberikan tanggapan mengenai penerapan UU tersebut.
“Maka diharapkan aspirasi ini menjadi penting, bisa menjadi masukan penting untuk RPP menjadi PP, Rancangan Perpres menjadi Perpres yang workable dan dapat dilaksanakan,” tuturnya.
Maha Matahari Eddy Purnomo, SE, MH dari Biro Hukum Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa di Kementerian Pertanian, UUCK ini menyinggung mengenai klaster penyederhanaan perizinan berusaha di sektor pertanian dan kesehatan, obat dan makanan. Di dalamnya, terdapat tujuh UU sektor pertanian yang terdampak. Perizinan berbasis risiko (RBA) merupakan prinsip yang diterapkan untuk mengevaluasi potensi bahaya dan probabilitas terjadinya bahaya suatu kegiatan usaha yang menitikberatkan pada pengawasannya. Dengan adanya RPP tersebut, diharapkan pengawasan akan dilaksanakan secara lebih ketat sehingga pemenuhan persyaratan perizinannya dapat dilaksanakan dengan baik.
Dari sisi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan (PDLUK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ary Sudijanto menyebutkan bahwa pokok pengaturan dalam RPP sendiri menyinggung sembilan bab terkait dengan PP lama dan beberapa penyusunan ketentuan barunya. Pengaturan lingkungan hidup dalam RPP ini juga termasuk perizinan berusaha dimana izin lingkungan tidak dihilangkan, namun tujuan dan fungsinya diintegrasikan dalam perizinan berusaha. Prinsip RBA tersebut diterapkan dalam menyusun dokumen dan persetujuan prasayarat perizinan berusaha terkait AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Dr Bob Sadino, Praktisi Hukum dan Staf Pengajar Universitas Al Azhar Indonesia mengkritisi bahwa tiap substansi dalam RPP terkait tiga bidang tersebut agaknya perlu diawasi agar tidak membengkak. Misalnya harmonisasi antara RPP sektor perkebunan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sangat erat kaitannya. Ia berpesan bila harmonisasi yang diterapkan agar tidak sampai saling mengunci.
Filosofi yang diterangkan dalam UUCK sendiri dinilai sudah baik, namun pemerintah harus terus mendengarkan aspirasi dari pelaku usaha terutama di daerah. Bila komunikasi antara pelaku usaha dan pemerintah terganggu, dampak dan manfaat UUCK sendiri tidak akan teralu terasa.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, Prof Yanto Santosa menyebutkan bila pelaku usaha harus dijadikan mitra yang sejajar sehingga interaksi dengan pemerintah saing membantu. Jenis usaha juga perlu dibedakan menjadi usaha yang merupakan insiatif pemerintah dan pelaku usaha. Seyogyanya, seluruh perizinannya pun diurus oleh pemerintah, pelaku usaha hanya tinggal melakukan operasional usahanya. Kepastian hukum dan konsisntensi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah pun perlu dipastikan kembali. Baik hukum dan penghargaan yang diterapkan juga harus bersifat reciprok sepenuhnya berlandaskan hukum. (MW/Zul)