Kontraversi Pemindahan Komodo
Kontraversi Pemindahan Komodo
KONTRAVERSI PEMINDAHAN KOMODO *)
Sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 384/Menhut-II/ 2009 tanggal 13 Mei 2009, pemerintah memberikan izin menangkap 10 ekor komodo dari Cagar Alam Wae Wu’ul, di Manggarai Barat untuk dipindahkan ke Taman Safari di Pulau Bali. Alasannya, hal tersebut untuk menyelamatkan komodo yang terancam punah di habitatnya.
Dalam wawancara khusus tentang hal ini di Radio El Shinta beberapa waktu yang lalu, Menhut menekankan bahwa tujuan utama dari pemindahan ini selain memperbanyak populasi, juga untuk memurnikan genetiknya dan mencegah terjadinya inbreeding yang merugikan.
Populasi Kecil
Ditinjau dari segi ilmiah, populasi komodo yang sangat khas ini dapat digolongkan ke dalam “island Population” dimana populasi yang mungkin ribuan dan bahkan jutaan tahun yang lalu menciut menjadi populasi populasi kecil yang memiliki tingkat keragaman genetik yang khas yang sesuai dengan habitatnya. Jadi jelas populasi komodo di Manggrai Barat dan di Pulau Komodo memliki ciri khas populasi akibat sudah teradaptasinya gen gen spresifik pada lingkungan yang spesifik pula.
Perlu diluruskan kembali bahwa inbreeding itu tidak selalu merugikan. Dalam banyak hal inbreeding merupakan salah satu metode persilangan yang banyak dimanfaatkan untuk memurnikan suatu breed atau galur (line). Jika level coeficient inbreeding ini sudah mencapai angka tertentu, misalnya di atas 25% untuk ternak domestik, maka “jika” ada gen yang merugikan yang ada dalam galur (line) tersebut, maka peluang gen tersebut muncul secara homozigot akan lebih besar. Sebaliknya jika tidak ada gen gen lethal yang merugikan pada galur tersebut, maka koefisien inbreeding yang tinggi sekalipun tidak akan menurunkan fitness galur tersebut.
Hal ini tentunya akan sangat berbeda pada populasi satwa liar. Konsep survival the fittest biasanya berlalu pada hewan liar. Hanya pejantan pejantan dan induk yang unggul saja yang dapat kawin dan berkembang biak serta menghasilkan keturunan. Komposisi gen dan daya adaptasi gen inilah yang menjadi kunci dalam keberhasilan satwa liar dalam berkembang biak dan bertahan untuk meredam fluktuasi kondisi lingkungan yang berubah setiap saat. Hal ini telah berlangsung rubuan tahun dan dengan level koefisien inbreeding yang sangat tinggipun depresi inbreeding tidak begitu berpengaruh. Kita ambil contoh pada kasus cheetah di Afrika dan belahan dunia ini. Koefisien inbreedingnya mencaai di atas 90 %. Hal ini berarti hampir dipasikan bahwa hampir semua cheetah d dunia ini berkerabat. Pada kenyataanya populasi cheetah ini masih dapat bertahan dan berkembang biak dengan baik.
Pertanyaan Besar
Kembali pada kasus komodo ini, kemungkinan besar justru inbreeding yang telah terjadi dalam kurun ribuan tahun ini menguntungkan bagi populasi komodo (catatan : dalam istilah genetika populasi disebut dengan “geographic spesific population“). Mengingat terisolasinya habitat komodo ini, kemungkinan besar genetiknya murni dan kalaupun terjadi persilangan, maka persilangan terjadi dengan komodo asal pulau komodo. Disamping itu, karena populasi ini khas dan terisolir, maka tujuan untuk memindahkan populasi komodo Manggarai ini untuk memurnikan genetiknya menjadi pertanyaan besar. Apanya yang akan dimurnikan? apakah sudah diteliti bahwa populasi ini tidak murni? apakah sudah diteliti tingkat keragaman populasinya ? standar apa yang diacu untuk mengatakan bahwa populasi ini tidak murni. Justru sebaliknya biasanya populasi yang tergolong ke dalam “ island population” ini memiliki kemurnian yang tinggi dan spesifik lokasi.
Perlu kehatian-hatian
Ditinjau dari ilmu genetika ekologi dan populasi, diperlukan suatu kehatian-hatian untuk melakukan konservasi ex situ, karena jika dilakukan tanpa tinjauan ilmiah yang mendalam maka, hasilnya justru membantu mempercepat kepunahan suatu populasi. Jika suatu individu atau kelompok individu dipindahkan dari habitatnya biasanya individu ini mengalami berbagai stress, mulai dari stress akibat penangkapan, stress akibat tidak sesuainya dengan habitat barunya, stress perubahan pakan, stress perubahan iklim dll. Secara fisiologis, jika individu komodo sudah lama beradaptasi pada suatu daerah, maka individu tersebut telah memiliki zona homeostasis fisiologinya yang khas. Pemindahan ke habitat lain akan memaksa individu tersebut untuk menyesuaikan ke titik “zona homeostasis” barunya. Jika individu tersebut tidak dapat secepatnya menyesuaikan diri, maka hal pertama yang dikorbankan adalah penurunan laju pertumbuhan dan mengurangi atau bahkan mengeliminasi aktivitas reproduksinya. Hal ini berarti setelah dipindahkanke lingkungan baru yang tidak sesuai dengan habitat semulanya, maka ada kemungkinan komodo tersebut menunda reproduksinya atau bahkan tidak dapat bereproduksi sama sekali.
Jadi suatu kehatian-hatian diperlukan dalam menerapkan kebijakan pemindahan komodo ini. Jangan sampai niat baik ini akan menjadi petaka kehilangan sub populasi komodo yang hanya dapat ditemukan di wilayah NTT ini. Jangan sampai tragedi kematian massal bekantan yang dipindahkan dari kalimantan ke Jawa Timur beberapa waktu lalu terulang kembali.
*) Ronny R. Noor; guru besar Bagian Pemuliaan dan Genetika FAPET IPB
SUMBER : KOMPAS 5 Agustus 2009