DRI IPB

Hari Susu Sedunia Indonesia Sulit Swasembada Susu

milk
Warta IPTEK

Hari Susu Sedunia Indonesia Sulit Swasembada Susu

milkIndonesia akan sulit swasembada susu, jika hanya mengandalkan peternakan sapi perah saat ini. Karena itu, kata Ketua Umum Dewan Persusuan Nasional (DPN), Teguh Boediyana, di Bogor, Senin (1/6), perlu upaya percepatan dan dukungan politik dari pemerintah untuk mempercepat pengembangan sapi perah di Indonesia.

“Swasembada susu harus menjadi obsesi kita. Tetapi jika mengandalkan yang sekarang terlalu lama (tercapai), harus ada akselerasi,” katanya dalam diskusi mengenai industri susu dalam negeri di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.

Diskusi digelar dalam rangka Hari Susu Sedunia pada 1 Juni.

Upaya percepatan itu, lanjut Teguh, dilakukan dengan perencanaan yang baik mulai dari penyediaan dana, bibit berkualitas, pakan, hingga pemasaran.

“Pemerintah semestinya segera mendatangkan bibit sebanyak-banyaknya dari negara yang bebas PMK (penyakit mulut dan kuku) untuk kemudian didistribusikan secara selektif pada peternak dengan skala efisien sampai 10 ekor setiap peternak,” katanya.

Selain itu, diperlukan pasok hijauan sebagai pakan yang memadai serta harga bersaing. “Tingkat harga yang bersaing ini, sesuai hasil penelitian kami minimal Rp4.000 per liter. Jika efisiensi bisa ditingkatkan,” katanya.

Di samping masalah tersebut, sektor peternakan Indonesia saat ini masih bertumpu di Pulau Jawa dan belum digarap secara maksimal di luar Pulau Jawa, kata Teguh.

Dalam hitungan DPN, jika Indonesia mengimpor 10.000 ekor bibit sapi perah per tahun mulai tahun 2007 untuk jangka lima tahun, hingga tahun 2012 baru bisa memenuhi 40 persen kebutuhan nasional.

Volume impor bibit sapi perah saat ini baru berkisar antara 200 hingga 300 ekor per tahun dan tidak cukup signifikan untuk meningkatkan produksi susu nasional.

Saat ini, produksi susu nasional hanya mampu memenuhi 20-30 persen kebutuhan nasional. Sementara 80 persennya masih diimpor dengan nilai mencapai Rp9 triliun per tahun.

Dibanding negara Asia Tenggara lainnya, konsumsi susu masyarakat Indonesia paling rendah.

Berdasarkan data Departemen Pertanian tahun 2007, konsumsi susu Indonesia hanya enam liter per kapita per tahun, Malaysia 20 liter per kapita per tahun, India 45 liter per tahun, dan Vietnam lebih dari 10 liter per kapita per tahun.

“Pemerintah hendaknya melihat ini sebagai kerja besar untuk menggerakkan ekonomi riil di satu sisi dan di sisi lain memenuhi kebutuhan nasional untuk mencerdaskan bangsa,” kata Teguh.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Dedi Setiadi, mengatakan, susu UHT (ultra high temperature) yang dihasilkan peternak anggota koperasi bisa bersaing dari sisi harga dengan produk industri pengolahan susu.

“Namun, kita selalu saja kalah dalam proses tender karena perusahaan besar biasanya mau rugi untuk mempertahankan pasarnya,” kata Dedi.

Saat ini terdapat tiga pabrik yang dimiliki koperasi yang mampu mengolah 200 ton susu segar per hari menjadi produk susu steril UHT dan susu kental manis.

Senada dengan Teguh, ia mengatakan, swasembada susu mungkin tercapai jika ada dukungan kuat dari pemerintah baik dalam penyediaan lahan, pakan, penanggulangan penyakit hingga harga dan pasar.

“Peternak tidak tertarik pada sapi perah karena masalah harga susu. Oleh karenanya, pemerintah harus menjamin agar harga susu tetap menguntungkan bagi peternak,” katanya. [TMA, Ant]

Sumber : http://www.gatra.com